brand irony

menurut saya media komunikasi baik iklan, papan-papan reklame, poster, maupun pamflet-pamflet punya sisi menarik tersendiri. Sehingga saya senang mengumpulkan dan menyusunnya di softboard kamar. Banyak yang menurut saya menarik terutama yang diluar imajinasi kebanyakan orang, seperti pada ‘brand irony’.

Kenapa ‘brand irony’ menurut saya menarik? Karena kreatifitas, gagasan, imajinasi tidak selalu bergaris lurus. Semua ibarat goresan kuas yang acap tidak jelas dari mana awalnya dan di mana akhirnya. ‘brand irony’ seringkali mengejutkan. Dan memang bisnis membutuhkan kejutan bukan? Hehe..

ironi sendiri bermakna: adanya keganjilan, aneh dan bahkan tidak pantas antara apa yang sedang dikatakan atau seorang penulis uraikan dan apa yang dimengerti audiens dan pembaca. Ironi acapkali berkaitan dengan peristiwa dan quote tertentu. Apa yang diharapkan adalah adanya kesenjangan, keanehan, keganjilan bahkan ketidakpantasan antara apa yang kita pahami dan apa yang sesungguhnya terjadi.



Seorang pengemis memegang tong kecil berbahan seng . Sang pengemis meminta untuk mendapatkan nasabah yang dapat menggunakan master card. Dalam hal ini ironi adalah ungkapan atau ucapan yang menerima dalil ganda. Yaitu suatu kelompok yang mendengar namun tidak akan memahami, dan yang kedua yang mendengar dan memahami maknanya .

Ironi berasal dari kata Yunani dari kata eironeia yang berarti ketidaktahuan atau kebodohan yang dibuat-buat (feigned ignorance). Teknik ini sering digunakan oleh salahsatu filsuf besar Yunani yaitu Socrates. Socartes menyemai kata Yunani eiron, yang tidak lain adalah seseorang yang membuat pertanyaan-pertanyaan dungu atau sekurang-kurangnya dianggap naif.

irony mensyaratkan suatu latar belakang budaya karena brand irony umumnya menggunakan keragaman budaya . Namun karena idiom-idiom khusus budaya, ironi seringkali tidak sempurna ditransplantasi, karena itu idiom yang dipakai di pantai barat Amerika bisa saja berbeda dengan idiom bahas inggris. Akibatnya idiom ironi selalu dikaitkan dengan kekhasan budaya setempat.

Misalkan contoh-contoh dari iklan ‘brand irony’ yang ada di India ini. Dengan latar belakang kondisi masyarakat dan budayanya, jika saya menjadi warga India yang ada pada kondisi tersebut mungkin saya tidak akan menganggap hal tersebut sebagai suatu keganjilan atau suatu ironi. Bagaimana dengan kamu, apa yang kamu tangkap dari iklan-iklan poster tersebut?

Lagi lagi tentang Bandung

Bandung yang memiliki slogan kota wisata merupakan gudang dari bangunan heritage terutama yang bergaya art deco. Dengan perkembangan kota yang tidak terencana dengan baik, potensi dari bangunan-bangunan heritage yang seharusnya dapat memberi nilai lebih kepada kota menjadi menjadi semakin terkikis, lihat saja kota Roma, bangunan bersejarah yang dijaga dengan baik (bahkan memindahkan sebuah batu kecil sisa robohan bangunan heritagepun sangat dilarang), hal ini menjadikan Roma menjadi kota yang bernilai tinggi dan memiliki potensi wisata yang tidak didapatkan di tempat lain. Tak heran manusia dari berbagai penjuru dunia berbondong-bondong ketempat ini setiap tahunnya. Pemerintah dan masyarakat dapat mendapatkan keuntungan tanpa harus bunuh diri secara perlahan dengan mengorbankan sejarah dan lingkungan. Itulah kota wisata sebenarnya.

Jika kalian termasuk orang yang hampir selalu memiliki rute yang sama tiap kali pergi keluar, maka sebenarnya rugilah kalian. Bandung, kota tempat kita tinggal, menyimpan banyak kenangan yang terlukiskan oleh bangunan-bangunan peninggalannya dan bahkan sempat mendapat julukan laboratorium arsitektur yang terlengkap, karena kota ini memiliki begitu banyak kekayaan arsitektur yang kini banyak dijadikan inspirasi serta bahan penelitian.

Mengapa objek arsitektur menjadi begitu penting? Coba ingat kembali, jika kalian berlibur, objek apa yang kalian datangi? Selain objek wisata alam, sebagian besar yang kalian kunjungi adalah objek arsitektur. Museum, kota, bangunan bersejarah, landmark, bahkan pertokoan. Sebuah pertanyaan muncul dalam benak saya, apa yang membuat Bandung begitu pesat perkembangannya dalam bidang arsitektur hingga bermacam gaya dapat ditemukan di sini.

Tepatnya tahun 1913, seorang ahli kesehatan masyarakat yang bermukim di Semarang, H.F. Tillema memaparkan sebuah makalah yang mengangkat permasalahan tentang buruknya penataan sanitasi di kota-kota pantai di Indonesia. Selain itu, ia juga beranggapan bahwa iklim di kota-kota tersebut (Batavia, Semarang, dan Surabaya) dirasa kurang cocok bagi penduduk dari Eropa, bahkan dianggap membahayakan kesehatan.

Sejak saat itu, bergulirlah wacana untuk memindahkan ibu kota dari Batavia ke Bandung, kota kecil di pegunungan Priangan yang iklimnya lebih cocok bagi orang Eropa, didukung oleh pertimbangan lain yaitu rawannya kota pantai terhadap serangan musuh.

Maka dimulailah pembangunan sarana fisik secara besar-besaran. Lebih dari 70 arsitek yang sebagian besar telah mengecap pendidikan di Technische Hoogeschool Delft datang ke Bandung atas undangan pemerintah hindia Belanda. Tujuh ratus lima puluh bangunan modern fungsional bergaya kolonial berhasil didirikan untuk mewadahi aktivitas di calon ibukota baru tersebut. Kebanyakan para arsitek tersebut merancang bangunannya dengan gaya yang sedang diminati di Eropa, seperti Art Nouveau dan Art Deco yang lebih fungsional . Akibatnya, wajah kota Bandung kala itu menyerupai wajah Eropa, yang sekarang masih tersisa di pertokoan Jalan Braga dan sekitarnya.

Tahun 1923, seorang arsitek senior kenamaan Belanda, mengkritik keras kebiasaan membangun bangunan dengan gaya Eropa asli tanpa beradaptasi dengan budaya dan iklim lokal. Ia mengemukakan pentingnya pencarian sebuah arsitektur asli yang merupakan sintesa dari kebudayaan Indonesia dan teknologi konstruksi barat. Pernyataan arsitek tersebut membuat perubahan pada desain-desain bangunan selanjutnya. Aula ITB karya Maclaine Point adalah sebuah contoh sukses perkawinan antara teknologi modern dan budaya tradisional.

Selain sejarah perkembangan arsitektur, bangunan-bangunan kolonial di Bandung juga kaya akan sejarah perjuangan bangsa khususnya dari zaman pergerakan kemerdekaan. Gedung Landraad di jalan Perintis Kemerdekaan misalnya, menjadi saksi pidato pembelaan Sukarno yang legendaris dan menggemparkan di depan pengadilan kolonial ,’Indonesia Menggugat’. Sebuah pidato yang ditulis di atas kloset dalam selnya yang sempit di penjara Banceuy, yang saat ini hanya tersisa sepenggal, tertelan pembangunan kawasan perbelanjaan.

Perkembangan sebuah kota memang tidak mungkin dihindari. Tetapi pembangunan kota yang kental dengan nuansa ekonomi tidak selamanya selaras berkompromi dengan aspek budaya. Bangunan-bangunan kuno seperti yang banyak terlihat menghiasi daerah Dago dan Jalan Asia Afrika membutuhkan ongkos pemeliharaan yang tinggi, yang tentu saja jika dilihat dari pertimbangan finansial semata akan tampak kurang efisien. Akibatnya, jika tidak dirobohkan, pemilik bangunan akan lebih memilih untuk menelantarkannya. Sehingga saksi bisu perkembangan kota tersebut menjadi semakin sedikit jumlahnya...

Jadi mulai sekarang, sadari bahwa di sekitar kalian berdiri dengan tegar sosok-sosok yang sedang menantikan akhir dari nasibnya; berakhir dengan bahagia sebagai aset pariwisata yang menjanjikan atau sebaliknya, mengalah untuk hilang sama sekali dari muka bumi, yang mungkin suatu saat nanti palu penentunya berada di tangan kalian.

Coffee Lover’s




Saya termasuk orang yang suka minum kopi, tetapi sudah lama saya tidak banyak mengkonsumsi kopi karena saya memiliki maag. Ada hal-hal yang menarik antara kopi dan bandung sehingga saya mencoba mengangkatnya di VOID edisi April 2007.

Kota Bandung yang masih dikenal berhawa relatif sejuk dengan angin sesekali menyapa, siap memanjakan selera pencinta kopi dengan sederet tempat. Seni Minum Kopi di Bandung menghabiskan waktu senggang sore hari ataupun menjelang malam bersama orang terdekat ataupun menjamu relasi sambil "ngopi" di sebuah coffee shop sudah menjadi "kebutuhan" tersendiri. Tak jarang ada yang membawa buku untuk menikmati suasana tersebut. Selam tiga tahun terakhir ngopi di Bandung sudah menjadi sebuah gaya hidup.

Sebut saja The Black Coffibar yang berada di sisi kanan Jalan Cihampelas. Dengan konsep ruangan outdoor di lantai 1 dan indoor di lantai 2 Premiere Plasa yang didominasi warna hitam, menjamin rasa nyaman dan betah duduk berlama-lama menikmati sajian kopi beserta pastry yang tersedia. Begitu memasuki ruangan kedua, jangan heran kalau atmosfer pencinta kopi selalu diingatkan dengan tulisan di dinding yang berbunyi, "Where Coffee Becomes Art". Artinya, minum kopi dapat memberikan suatu nilai lebih kepada para penikmat kopi, yaitu kepuasan tersendiri didukung suasana yang comfortable tentunya.

Buat Anda pencinta kopi 'ringan', ditempat ini boleh saja memanjakan lidah dengan salah satu menu favorit dari lima jenis menu minuman kopi yang tersedia, yaitu "Oreo Coffee". Paduan antara kopi espresso, baileys, biskuit hitam dengan krim vanila, plus ice cream vanila yang di-blend cukup menggoda untuk dijadikan "teman" melepas lelah sepulang kantor atau sekadar hang-out dengan teman. Sementara, jika ingin menikmati sajian kopi hangat, bisa mencoba "Illy" dan "Black Mochacino". Sesingkat namanya, untuk menu pertama yang diambil dari bahasa Italia ini disajikan dengan kandungan kopi expresso saja. Untuk menu kedua, varian minuman kopi ini lagi-lagi masih diramu dengan kopi expresso, susu cair, dan cokelat cair.

Suka bereksperimen dengan minuman? Barangkali Anda bisa mencoba salah satu menu yang diracik melalui shaker dan masih menggunakan kopi espresso. Tak hanya itu, kandungan whiskey, vodka, bacardi, cointreau, menjadikan minuman jenis Coffee Cocktail yang bernama "Black Illusion" ini memiliki rasa unik. Bagaimana dengan kisaran harga? Ternyata, secangkir kopi plus pastry pilihan seperti Tiramisu atau Cream Cheese Cake, Anda hanya mengeluarkan uang dengan kisaran Rp 10.000,00 hingga Rp 60.000,00. Buat yang takut gemuk, jangan ragu untuk mengatakan kepada sang barriesta untuk menggunakan low sugar saja.

Tempat "ngopi" favorit lainnya di Bandung adalah Kafe Excelso. Ada tiga cabang Kafe Excelso yang dapat Anda kunjungi, Kafe Excelso Setiabudi, Bandung Supermal (BSM), dan Istana Plaza (IP). Tempat terakhir termasuk paling sering dikunjungi pencinta kopi sejak siang hari hingga malam hari sekira pukul 22.00 WIB. Namun jangan heran bila Anda datang di atas pukul 21.00 WIB, tidak diperkenankan santai sejenak di ruangan bernuansa serba cokelat ini."Kami menghargai waktu yang akan dinikmati para tamu ketika berada di tempat ini. Jadi, kami selalu berusaha mengingatkan mereka untuk tidak berkunjung 30 menit sebelum tutup. Kecuali minumannya mau dibawa pulang," jelas Rulliyana Soelaeman selaku Assistance Supervisor dari Kafe Excelso. Keunikan tempat anak perusahaan Kopi Kapal Api ini, menggunakan jenis-jenis kopi dalam negeri. Sehingga sasaran pembelinya tak hanya warga lokal. Banyak turis asing penikmat kopi memilih "Kalosi Toraja", misalnya. Hal ini karena adanya aroma yang lebih kuat dibanding kopi buatan luar negeri seperti "Jamaican Blue Mountain" yang memiliki biji kopi kecil-kecil sehingga aromanya lebih soft. Jika berkunjung ke coffee shop ini, jangan lupa mencoba salah satu menu favorit, Avocado Coffee. Tambahan buah alpukat yang di-blend membuatnya sedikit berbeda dengan minuman kopi lainnya. Apalagi jika ditambah pelengkap seperti croissant, sandwich, dan berbagai cake, mulai dari tiramisu hingga chocolate mouse.

Bagi Anda yang memang tidak dizinkan untuk mengonsumsi kafein, seperti menderita penyakit jantung, maag, jangan langsung khawatir. Karena Anda bisa memesan minuman kopi seperti "Decaffeinated Blend" yang bebas kafein sebanyak 80 hingga 90 persen. Walaupun suasana cukup dilengkapi bangku-bangku standar, sebagai tempat kongkow, atmosfer tersendiri bagi pengunjung. "Perlakukan tamu seperti teman sendiri. Hal ini yang akan mengundang mereka untuk kembali. Jadi tak sekadar menikmati kopi saja, tetapi ada kepuasan yang didapat dan belum tentu ada di tempat lain," Ungkap Rulliyana.

Khusus pencinta kopi asli tanpa campuran bahan kimia dan diproses dengan cara yang sangat tradisional, cobalah bertandang ke toko kopi Aroma yang terletak di jalan Banceuy Bandung. Di toko plus pabrik kopi yang berdiri sejak 1930 ini, dipastikan Anda akan mendapatkan kopi-kopi orisinal berusia 5-8 tahun!

Selayaknya toko dan pabrik yang menjual secara langsung. Di tempat ini, Anda tidak akan mendapatkan kenyamanan dari sebuah coffee shop. Lihatlah bagaimana orang-orang yang berdatangan dari berbagai penjuru kota di Indonesia, harus mengantre demi mendapatkan 1/4 kg atau 3 kg kopi. Mereka yang datang ke sini, kebanyakan para pencinta kopi yang lidahnya sudah bisa membedakan bagaimana taste kopi asli, kopi campuran, atau sekadar kopi esence. Tak heran tempat inipun pernah kedatangan utusan perdana menteri Jepang untuk memesan kopi.


Di toko yang semua peralatannya dibuat pada zaman Belanda inipun anda dapat membeli butiran kopi (bahan dasar kopi) dan kopi seduh. Hanya ada dua jenis kopi di tempat ini, kopi Arabica dan kopi Robusta. Yang istimewa, kedua jenis kopi ini baru dapat dikonsumsi setelah melalui proses penyimpanan selama 5 tahun untuk kopi Robusta dan 8 tahun untuk kopi Arabica. Dapat dibayangkan, kalau Anda minum seduhan kopi Robusta ataupun kopi Arabica dari tempat ini, berarti Anda sudah menikmati kopi yang berusia 5-8 tahun! Kopi Robusta didatangkan dari Bengkulu, Lampung, Tulung Agung, dan Wonosobo. Sedangkan kopi Arabica didatangkan dari Aceh, Medan, Toraja, Timor, dan Jawa Timur). Kopi-kopi ini dibedakan berdasarkan usia penyimpanannya.

Tak ayal, bila untuk satu jenis kopi, sang pemilik harus kehilangan 1 kg bobot kopi per tahun akibat penyusutan penyimpanan. Disitulah nilai keasliannya. Semakin tua kopi disimpan, semakin layak untuk dinikmati. Sebab melalui proses penyimpanan akan terjadi penyusutan kadar air, kadar asam, dan kadar kafein sehingga keasliannya sangat terasa. Jaminan kopi "Aroma" sebagai kopi organik bebas zat kimia, dimulai sejak penanaman yang anti pestisida. Dijemur di bawah sinar ultra violet, dipanaskan dengan tungku berbahan kayu bakar, dan dihaluskan menjadi kopi dengan alat tradisional. "Keaslian itu yang penting, sebab rasa tidak akan bisa dibohongi."

Nah, apa selera Anda dalam urusan ngopi? Sebutkan saja. Bandung sebagai kota wisata rasa, sudah menyiapkan segalanya untuk Anda.

Bandungku sayang Bandungku malang

Karena saya orang Bandung asli, rasanya sedih melihat perubahan bentuk kota bandung yang menjadi semakin tidak jelas, kesemrawutan dan ketidakaturan yang ada selalu dijawab dengan kebutuhan perkembangan kota. Padahal jika dilihat dari data perbandingan antara tingkat pertumbuhan dan tingkat kesejahteraan masyarakat Bandung (sb. lab rancang kota planologi) ternyata perkembangan kota tidak meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Ini mengartikan bahwa yang menikmati perkembangan kota bandung bukan warga kota bandung, dan yang mandapatkan keuntungan signifikan dari perkembangan kota bandungpun bukan orang Bandung. Lihat saja para pengembang raksasa yang berinvestasi di kota tercinta ini yang kebanyakan berasal dari ibukota. Memang dengan berkembangnya Bandung dapat ikut ‘mengenerate’ perekonomian warga, namun apakah itu sebanding dengan dampak esternalitas yang didapat oleh masyarakat Bandung terutama mengenai dampak lingkungan.

Bandung riwayatmu doeloe
Dari banyak catatan dan cerita sejarah, kita bisa mengapresiasi betapa indahnya Kota Bandung tempo doeloe. Inilah kisah sebuah kota yang konon dulunya begitu teratur dan nyaman, yang terletak dalam dasar "cawan" yang dikelilingi oleh pegunungan-pegunungan. Inilah kota yang dulunya menawarkan lingkungan alam yang sangat indah lebih dari kebanyakan kota lainnya di Indonesia. Lebih dari itu, inilah sebuah kota yang udaranya relatif sejuk karena terletak dalam dataran cukup tinggi (sekitar 630m di atas permukaan air laut), banyaknya taman-taman kota, dan pohon-pohon yang tinggi nan besar di sepanjang jalan-jalan kota.


Berawal dari hutan lebat yang menjadi tempat buangan orang-orang yang terhukum oleh pemerintah Belanda, tak lama kemudian ia segera berubah menjadi sebuah kota dimana sejarah mencatatnya sebagai tempat yang memiliki segudang daya tarik. Cerita tentang orang-orang Belanda terhukum yang dibuang itu konon bukannya sengsara, tetapi malah seakan menemukan surga dengan membuka lahan berkebun, usaha penggergajian kayu, dll. Sehingga, daerah yang awalnya hanya berpenduduk tak lebih dari 25-30 orang pada tahun 1641, tak lama kemudian menjadilah sebuah kota sebagai tempat peristirahatan orang-orang Belanda. Oleh orang-orang Belanda itu, kota ini lalu dibangun mengacu pada perencanaan kota-kota di Eropa khususnya kota-kota di negeri Belanda namun dengan nuansa tropis.

Sejarah mencatat adanya perkembangan penting di sekitar tahun 1810, yakni ketika Gubernur-Jenderal Hermann W. Daendels menancapkan sebuah tongkat di suatu titik (Kilometer 0) di Jalan Raya Pos di kota Bandung. Hampir bersamaan dengan itu dipindahkanlah pula pusat ibukota Bandung yang lama dari Karapyak ke kawasan Alun-alun sekarang oleh Bupati Raden Wiranatakusumah II atas perintah Gubernur- Jenderal. Namun demikian perkembangan yang paling menonjol dan dramatis adalah sejak pemerintah kolonial Belanda berencana memindahkan pusat pemerintahannya dari Batavia (Jakarta) ke Bandung pada tahun 1917.

Sejalan dengan rencana tersebut, maka semakin ramailah kaum pendatang dari banyak penjuru Nusantara serta imigran dari Eropa dan China. Pembangunan berbagai infrastruktur dan sarana kota segera intensif dilakukan. Selama dekade 1920 hingga 1930-an tercatat begitu banyak bangunan monumental yang dibangun dan telah menjadi ciri dan identitas kota Bandung hingga kini seperti bangunan Department Verkeer en Waterstaat atau kini dikenal Gedong Sate sebagai pusat pemerintahan nasional, dan bangunan Aula Barat dan Timur Kampus ITB serta master plan kampus untuk cikal bakal sekolah tinggi teknik pertama di Indonesia. Selain itu dibangun pula gedung-gedung lainnya yang tak kalah menarik yang menjadi identitas kota seperti Villa Isola, Hotel Savoy Homann, Hotel Preanger, Gedung Merdeka, dll.

Pada sekitar dekade tersebut, rupanya para arsitek Belanda telah merancang dan membangun banyak gedung yang sangat menarik hingga menempatkan Bandung pada urutan 9 dari 10 kota dengan arsitektur Art Deco terbanyak di dunia, satu tingkat di atas Kota Paris (GlobeTrotter, 2001). Itulah di antara aset-aset paling berharga yang menjadi ciri dan identitas Kota Bandung. Wajarlah jika Kota Bandung tempo doeloe juga dikenal dengan sebutan legendarisnya Parijs van Java.

Selain bangunan, rancangan ruang-ruang terbuka hijau kota juga telah ikut membentuk identitas Kota Bandung tempo doeloe di mana terdapat banyaknya taman, lapangan dan ruang terbuka kota yang menghiasinya. Tampaknya konsep membangun kota taman (garden city) yang digagas oleh Sir Thomas More pada tahun 1516 hendak diwujudkan oleh para perencana Kota Bandung pada waktu itu (Haryoto Kunto, 1986). Tak heran jika Kota Bandung tempo doeloe dengan penataan alam, taman dan lingkungannya seperti itu juga mendapatkan julukan dan pujian sebagai Kota Kembang.

Gambaran-gambaran keindahan dan kenyamanan Kota Bandung tempo doeloe sudah cukup banyak ditulis dalam buku-buku karangan kuncen Bandung alm. Haryoto Kunto seperti Wajah Bandoeng Tempo Doeloe (1984), Semerbak Bunga di Bandung Raya (1986), Ramadhan di Priangan (1996), dll. Di samping itu, banyak pula foto dan lukisan tua sebagai bukti visual paling otentik yang dapat kita temukan yang menggambarkan suasana keindahan dan kenyamanan itu.

Selain gambar-gambar dan lukisan-lukisan tua tersebut, banyak pula gubahan lagu tentang Bandung yang seakan ingin ikut menjadi saksi keindahannya yang dapat memperkuat imaji kita bahwa Kota Bandung tempo doeloe adalah "Surga Tatar Sunda". Rupanya pesona kota ini telah banyak mengilhami para pencipta lagu seperti Ismail Marzuki dalam Sapu Tangan dari Bandung Selatan, Iwan Abdurrachman pada Senja Jatuh di Bandung Utara, Flamboyan, atau Melati dari Jaya Giri, serta Tetty Kadi dengan Kota Kembang-nya, dll.



Demikianlah kisah wajah Kota Bandung "tempo doeloe", begitu dipuja dan didamba hingga mengilhami banyak karya lagu. Namun kini, kisah itu seperti sekadar cerita-cerita masa lalu atau dongengan-dongengan masa silam, seiring dengan terkikisnya keindahan dan kenyamanan itu. Kini, banyaknya pujian masa lalu itu seakan telah menjadi tema mimpi di siang hari.

Bandung nasibmu kini

Rupanya dinamika perubahan di kota ini telah tumbuh dan bergerak sangat cepat. Kota Bandung yang luasnya sekitar 16.730 hektar ini dulunya dirancang sebagai kota taman dan peristirahatan untuk sekitar 250.000 penduduk, namun dari sensus tahun 2001 saja penduduk kota Bandung sudah mencapai 2.141.847 orang. Padahal seiring dengan pertambahan jumlah penduduk kota, maka kebutuhan sarana pelayanan dan infrastruktur kota sudah menjadi kemestian, dari mulai kebutuhan lahan dan bangunan-bangunan baru, jalan-jalan dan sarana transportasi, infrastuktur sanitasi dan sampah, dan lain sebagainya.

Namun sungguh disayangkan, dinamika perubahan yang cepat itu tampaknya kurang diimbangi dengan perencanaan dan pengelolaan kota secara maksimal dan profesional. Ini dibuktikan dengan belum adanya konsep menata kota yang utuh, integral, bervisi jauh ke depan (misalnya 25-50 th ke depan). Bandingkan dengan kota lain di dunia seperti Kota Melbourne yang memiliki visi 2030 yang menggagas kota kompak ( A more compact city) dengan guideline dan kebijakan yang menyeluruh khususnya masalah konsentrasi pembangunan pusat-pusat kota dan penyediaan infrastruktur transportasi masal.

Penyelesaian masalah demi masalah masih sering terlihat dilakukan secara sporadis, setempat, berjangka pendek dan kurang mempertimbangkan adanya persoalan kota lainnya. Proyek-proyek jalan layang, pelebaran jalan untuk menghindari kemacetan setempat, atau yang belum lama ini seperti rencana proyek jalan tol Dago-Lembang hanyalah contoh-contoh sederhana dari solusi-solusi pengambilan keputusan yang parsial tersebut.

Padahal, menyelesaikan problem kemacetan dengan cara memperlebar jalan, membuat jalan layang hingga jalan tol seperti itu adalah ibarat memperbesar/memperlebar pakaian bagi tubuh yang makin gemuk, sementara persoalan tubuh yang makin gemuk itu sendiri tidak pernah diantisipasi dan diselesaikan. Dengan cara begitu, kemacetan memang mungkin akan berkurang sejenak tetapi tidak lama lagi dipastikan akan muncul kembali seiring dengan semakin bertambah banyaknya kendaraan umum dan/atau kendaraan pribadi.

Selain dari itu, bila dicermati keputusan-keputusan pembangunan ruang-ruang kota juga sering terlihat lebih banyak ditentukan oleh para pemilik modal. Tampaknya perhatian pemerintah masih terlalu sibuk mengurusi pendapatan daerah sehingga mengabaikan pentingnya rencana pembangunan kota yang meliputi penataan ruang kota dan pengelolaannya. Oleh karena itu, sebuah kenyataan pahit yang kini semuanya sudah mafhum bahwa kota ini hari demi hari bukan sekadar tidak indah lagi tetapi semakin tambah semrawut, semakin tidak nyaman, dan bahkan telah mengancam kemanusiaan serta masa depan penduduk kota itu sendiri.

Telah begitu banyak masalah yang dihadapi kota Bandung saat ini, beberapa di antaranya: pertama, masalah kemacetan yang luar biasa, di mana paling sedikit terdapat 30-40 titik-titik kemacetan. Saking banyaknya kemacetan ini, sampai-sampai sudah muncul opini yang pejoratif Bandung Lautan Macet. Menurut Pakar transportasi dari jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Institut Teknologi Bandung Prof Dr Ir Kusbiantoro, Bandung memang tergolong kota paling macet jika dibandingkan dengan kota-kota besar lain di Indonesia.

Kedua, masalah sanitasi yang buruk dan sampah yang menggunung. Peristiwa paling tragis yan terjadi belum lama ini adalah banyaknya penduduk yang mati akibat tertimbun longsoran sampahnya manusia itu sendiri. Sejak peristiwa itu, muncul pula opini lain yang tak kalah buruknya Bandung Lautan Sampah.

Ketiga, masalah polusi udara yang sudah melewati ambang batas, yang mengakibatkan udara menjadi panas dan tidak sejuk lagi. Menurut banyak pakar lingkungan, hal ini makin diperparah karena Kota Bandung berada dalam kondisi cekungan yang menjadikan pada malam hari partikel polutan mengendap ke bawah, sementara pada siang hari menguap tapi tidak seluruhnya terangkat.

Keempat, masalah kaki lima yang semakin hari semakin bertambah banyak dan tidak mudah pengaturannya. Meski demikian, perlu disadari bahwa mereka juga warga kota yang punya haknya terhadap kota. Pembangunan kota sudah semestinya tidak boleh mengaleniasi kota dengan warganya.

Kelima, masalah bangunan-bangunan tua yang rusak, tak terawat, dan makin banyak yang hilang. Hal ini sungguh disayangkan, karena berarti juga hilangnya aset-aset berharga yang menjadi identitas kota.


Dan masih banyak lagi masalah-masalah itu yang jika didaftar maka bisa berpuluh-puluh masalah yang semuanya terkait satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu perlu segera dilakukan langkah-langkah yang strategis, profesional dan cerdas untuk mengatasi banyaknya masalah ini, jangan sampai berkembang opini baru: Bandung Lautan Masalah.


"Grand Design" Sebagai Solusi Integral


Kota adalah akumulasi produk pengambilan keputusan dari banyak pihak dalam berbagai kurun waktu. Jika proses-proses pengambilan keputusan itu tidak berpedoman pada satu acuan yang jelas dan utuh, maka aneka keputusan dari banyak pihak itu akan berjalan sendiri-sendiri. Akibat yang sering terjadi adalah pada saat satu keputusan telah dibuat dan dijalankan ternyata justru memproduksi masalah baru atau menyeret masalah lainnya menjadi semakin parah dan rumit untuk ditangani.

Persoalan-persoalan Kota Bandung jelas sudah tidak bisa lagi diselesaikan dengan gagasan-gagasan atau proyek-proyek parsial, sporadis, dan tambal sulam yang hanya untuk menjawab kebutuhan jangka pendek. Karena kota ini sudah sangat jauh berkembang dan berubah dari konsep awalnya pada waktu dibangun oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda di abad ke-19 dulu. Lagi pula masalah-masalah kota itu akan selalu terkait satu sama lain, saling jalin-menjalin bak benang berkelindan.

Oleh karenanya, perencanaan kota ini memerlukan visi, konsep dan gagasan utuh yang menerobos jauh ke masa depan dan nantinya secara konsisten harus dipegang teguh. Perlu segera dibuat sebuah "Grand Design" penataan baru Kota Bandung yang integral/menyeluruh dan berwawasan jauh kedepan misalnya untuk 25-50 tahun yang akan datang. Sudah sangat banyak pakar berikut institusinya di kota ini, dari sejarahwan, seniman-budayawan, arsitek, desainer, perencana kota, pakar pengembangan wilayah, pakar transportasi, ahli lingkungan, kalangan LSM seperti Bandung Heritage, pecinta Bandung, dan lain-lain. Mereka semua perlu dilibatkan untuk mendapat solusi yang menyeluruh.

Namun demikian, mengharap perencanaan dan perbaikan kota secara menyeluruh kepada pemerintah kota saat ini, ibarat menggerakkan sebuah gunung. Maka inisiatif itu tampaknya hanya bisa diharapkan dari kelompok-kelompok kecil yang memiliki komitmen dengan agenda besar seperti ini, berharap semoga muncul satu kelompok atau LSM yang dengan tulus menjadi pionir penggerak gagasan grand design ini, dan secara konsisten memperjuangkannya sekaligus mensosialisasikannya kepada masyarakat luas. Yuk dimulai..



cucu wisnusarman dan mahasiswa asing


Salah satu cerita pandek yang menarik dan cukup menyentil yang saya baca di buku berjudul ‘Cucu Wisnusarman’ karangan Parakitri T.Simbolon, buku ini berisi kumpulan kolom yang diterbitkan harian kompas dalam kurun waktu 1979-1984 dan pertengahan 1992.

Pada cerpen ini walaupun merupakan cerpen lama dan mungkin berbeda dengan kondisi sekarang dimana NKKnya sudah berubah wujud namun poin yang ingin disampaikan masih relevan dengan kondisi saat ini dari yang saya liat di kehidupan kampus saya. Silakan maknai sendiri :)


Cucu Wisnusarman(CW) bertemu dengan seorang mahasiswa dari negara tetangga yang sudah lama menjalankan semacam Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK)

“banyakkah protes mahasiswa ketika NKK kalian hendak dijalankan? Tanya CW.

“samasekali tidak ada!”

“kalau begitu kalian samasekali sepakat dengan NKK?”

“samasekali tidak”

CW mendelik tidk mengerti.

“barangkali NKK kalian tidk seperti disini,” tanya CW dengan suatu pengharapan. Ia berharap NKK asing itu lebih baik.

“bagaimana disini?”

“surat keputusan yang berwenang bilang, NKK bertujuan membawa kembali mahasiswa ke kepribadiannya yang hakiki, yaitu ‘manusia penganalisa’. “

“manusia penganalisa? di negara sayapun persis begitu, terus?”

“agar bisa sampai kesana, badan keluarga mahasiswa harus memenuhi kebutuhan utama mahasiswa. Itulah ‘student welfare, student interest’, dan ‘student ideas and reasoning’.”

“pakai bahsa inggris segala, tidaklah kalian punya cukup kata untuk itu?”

“ memang bahasa nasional kami cukup mampu juga mengatakan hal-hal yang demikian, tapi pemerintah kami merasa lebih enak kalau memakai bahasa inggris. Mungkin lebih bagus juga dirasanya.”

“kamu menyindir atau sungguhan? Kabarnya kamu cukup fanatik mendukung pemerintahmu.”

“saya tidak menyindir. Pantas dong kalo orang seperti saya mendukung pemerintah saya. Kamu tahu pemerintah saya sedang berusaha keras melakukan pembangunan, modernisasi. Modernisasi tanpa bahasa inggris tidak pantas kan? Jadi saya sunguh-sungguh, tidak menyindir.”

“lantas bagaimana katanya perkumpulan mahasiswa dapat melakukan tugas tersebut?”

“di tingkat universitas, fakultas dan jurusan, perkumpulan tidak lagi dipimpin oleh mahasiswa, tapi oleh pemimpin universitas, fakultas dan jurusan. Di bawah kekuasaan merekaitu para mahasiswa boleh membentuk unit-unit kegiatan, seperti diskusi ilmiah, pers, olahraga, budaya dan sejenisnya. Semua itu diawasi tentu saja.”

“kalau begitu NKK kalian persis sama seperti di negeri saya”

Lagi-lagi CW mendelik heran. “lantas bagaimana kalian sampai tidak protes samasekali?”

“protes? Untuk apa?”

“bagaimana untuk apa. Tidaklah kamu sadar, struktur seperti itu akan menhambat kegiatan yang dapat memenuhi kebutuhan mahasiswa?”

“kebutuhan macam apa itu?”

“hhmm,” CW merasa jengkel. “tidaklah kamu sadar, jadinya mahasiswa tidk bisa lagi atau kalaupun bisa tak punya waktu lagi melakukan kegiatan selain akademis, olahraga dan berkesinian yang diawasi, seperti misalnya protes atas ketidakadilan dan penyelewengan”

“protes seperti itu ditujukan untuk siapa?”

“yah terhadap pemerintah tentunya”

“buat apa pemerintah diprotes?”

“hah? Buat apa katamu? CW berubah dari jengkel ke amarah. “tidakkah mahasiswa memerlukan cara untuk menunjuka kepedulian, kebanggaan dan rsa berharga?”

“misalkan itu betul, apa hubungannya dengan protes?”

“aduh bukankah dengan protes mahasiswa mungkin ditangkap dan dengan ditangkap mahasiswa menjadi penting? Dan dengan begitu setelah terjun ke masyarakat menjadi terkenal dan disegani?

“lantas untuk apa itu semua?”

“ya Tuhan, masa kamu tidk tahu?” dari amarah CW berubah menjadi perasaan kasihan. “bukankah dengan harga diri semacam itu dapat menaikan harga penawaran si mahasiswa? Tidakkah kamu tahu harga itu bisa semahal mobil yang dapat dijadikan taksi, semahal imbalan seorng pendamping dan penasihat pejabat?”

“hah” ujar mahasisa asing itu tertawa. “itu mungkin perlu buat mereka yang tidak menyenangi pemerintah, tapi apa gunanya bagi orang seperti kamu yang menyenangi pemerintah?”

“bodoh amat orang ini,” kata CW dalam hati. Kepada mahasiswa sing itu ia bilang lebih lanjut. “apa kakmu tidak sadar bahwa pemerintah takkan memerlukan pendukung seperti saya kalau tidak ada yang memrotes? Lagi pula, bukankah pemerintah sendiri memerlukan protes , asal tidak sampai berbahaya?”

“Untuk apa pemerintah memerlukan itu?”

“yah untuk memberi kesan bahwa pemerintah itu mau mendengarkan kritik. Untuk memeberi kesan bahwa mereka telah berbakti. Bukankah hal-hal begini penting dalam politik?”

Tamu dari negara tetangga itu tertawa sampai terkekeh-kekeh

“tertawalah sampai puas,” ejek CW terang-terangan. “saya rasa soalnya adalah kamu tidak mampu protes karena tidak sadar makna ‘manusia penganalisa’.”

“persis,” sahut mahasiswa asing itu. “kendati kami menerima NKK, kami tidak percaya hakikat ‘manusia penganalisa’, itulah sebabnya kami tidak protes.”

“kok malah bisa begitu?”

“manusia pengenalisa memang berguna jadi pekerja yang patuh di kantor-kantor, pabrik dan laboratorium. Mahasiswa yang mau begitu tentu tidak memrotes NKK. Buat mereka itu bagus. Tepat. Sebaliknya, bagi mahasiswa yang tidak ingin jadi ‘manusia penganalisa’, jadi pahlawan dan tokoh pun sama tidak menariknya. Lantas buat apa mereka protes?”

“kalau begitu mereka mengerjakan apa di Universitas? CW mengejar terus

‘mereka belajar. Tekun belajar seperti mereka yang ingin menjadi ‘manusia penganalisa’. Mereka memerlukan ketenangan untuk belajar.”

"sama tekun belajar? Terus apa bedanya dong?”

"bedanya mereka tak ingin jadi ‘manusia penganalisa’ memperdalam pengetahuan mereka atas perikehidupan bangsa, bangsa, semua, yang miskin, yang kaya, yang dikuasai maupun yang berkuasa.”

“buat apa?” tanya CW, kini mulai ada titik terang dalam cara berpikir tamunya.

“bukan buat apa-apa, tapi kenapa. Itulah hakikat manusia, termasuk mahasiswa, adalah memahami dunia sekelilingnya, alam maupun manusia, bukan ‘penganalisa’.”

“berbedakah itu?”

“sangat berbeda. Bayangkanlah beda antara mesin dan manusia. Mesin ampuh menganalisa, tapi hanya manusia yang mampu memahami. Nah pemahaman mereka itu beredar di antara mereka saja. Mereka jadi manusia yang lebih matangkarena mengerti masalah bangsanya. Itulah sebabnya mereka tak ubahnya seperti perkumpulan rahasia.”

“kok rahasia?” CW penasaran

“rahasia karena tak ketahuan secara luas karena tidak main dengan protes, tapi tekun belajar. Ketika kesempatan tiba, mereka memainkan peranan. Pernah dengar nama Ko Lao Huei? Ia dan mahasiswa lain hidup di bawah suasana mirip NKK. Merekalah yang melahirkan Tiongkok meredak dari kekuasaan dinasti Tsing. Pernah dengar nama Chai E? Ia menjadi jendral yang berhasil mengelabui pemerintah tsing dengan membawa kabur ribuan taruna militer. Pernah dengar Zhu De, pendiri tentara merah? Mereka semua tiba-tiba mengambil peranan setelah bertahun-tahun belajar tekun. Mereka tak pernah protes, tapi belajar. Mereka tidak jadi penganalisa tapi memainkan peranan yang menentukan.”

tentang lansia :)

Bbrp hari yang lalu saya nntn acara di metro tv yang saat itu sedang membahas tentang lansia dengan mengundang ketua pehimpunan lansia dan aktivis lansia. Dan saya baru tahu kalau ternyata Indonesia merupakan negara kedua tertinggi baik jumlah maupun presentasi lansia. Apakah ini menunjukan bahwa warga Indonesia panjang umur? Hehe ntahlah mungkin perlu melihat lagi riset-riset tentang ini, ditambah dengan perbandingan jumlah kematian bayi yang memang tdk sedikit di Indonesia terutama di Jawa Barat.

Selain jumlah dan presentasi penduduk, ternyata Indonesia pun memiliki presentasi terbanyak dalam lansia produktif. Lansia di Indonesia banyak yang masih bekerja baik di sektor formal maupun informal. Buruh pabrik, petani, sampai para pekerja pembuat bungkus ketupat di suatu kampung seperti yang saya lihat di berita kemarin. Hal ini mungkin sejalan dengan tuntutan hidup di negara yang tingkat kesejahteraannya masih rendah. Lansia masih tetap harus bekerja untuk memenuhi kehidupannya dan berbeda dari masyarakat negara maju yang memiliki anggaran sosial untuk ini dan terbiasa untuk ‘menabung’, membuat investasi untuk hari tua.

Setelah menonton itu saya coba buka-buka undang-undang ketenagakerjaan, dan ternyata TIDAK ADA UU yang mengatur tenaga kerja lansia. Padahal menurut saya tingkat urgensi UU ini lebih tinggi daripada UU pornografi. banyak sekali pekerja-pekerja lansia yang tidak mendapat perlindungan khusus ketika bekerja, padahal jelas ada hal-hal yang berbeda antara lansia dan usia produktif. Dengan kondisi masyarakat yang masih menuntut para lansia untuk tetap bekerja, jelas UU ini diperlukan.

Kalau saya melihat sendiri kakek dan nenek saya, kedua kakek nenek saya cukup aktif baik sebagai pengurus organisasi pensiunan militer, pensiunan isteri militer, pengajian, perkumpulan darma wanita dan beberapa organisasi lain. Kedua kakek sayapun sempat menjadi ketua RW di hari tuanya. Kakek saya yang pertama menjadi ketua RW selama sepuluh tahun sampai tahun kemarin setelah pensiun dari TNI AD dan yang satu lagi setelah pensiun dari departemen agama, sempat menjadi ketua RW dua periode sampai akhir hayatnya 4 tahun lalu. Yang saya liat dari kedua kakek-nenek saya, mereka selalu disibukan dengan kegiatan-kegiatan beragam di usia senjanya. Bahkan beberapa tahun terakhir kakek saya yang pertama mulai disibukan lagi dengan hobi lamanya yaitu berternak ayam, setiap harinya memberi makan dan menyuntik vaksin pada ayam-ayam di kandang seluas 11x8m. Kakek saya yang ini seperti memiliki tenaga layaknya orang muda, tak heran diusia yang sudah melewati 70 tahun masih suka manjat pohon jambu tinggi didepan halaman rumah padahal udah sering diingatkan untuk menyuruh oranglain saja tetapi tetap saja membuat orang-orang was-was dengan tetap memanjat. hahahhaa..Memang nakal sih kakek saya yang satu ini..

Selain itu ketika nenek saya sudah mulai tdk aktif di organisasi dan kurang banyak bergerak, nenek saya menjadi sering sakit-sakitan. Sampai akhirnya sekarang nenek saya menjadi sering memasak lagi, mencoba berkegiatan dengan membuat kreatifitas resep-resep baru dan cucu-cucunyalah yang ikutan senang ketika berkunjung :). Dengan berkegiatan saya melihat kakek nenek begitu semangat. Seakan mendapatkan spirit dan energi baru dalam menjalani hidup di masa tuanya. Hhmm mungkin karena produktif inilah di Indonesia presentasi lansia tergolong tinggi alias banyak yang panjang umur (diluar dari konteks takdir ya,, hahaha)

Rasanya sangat wajar jika dalam bahasan lansia di metro TV disebutkan bahwa panti jompo haruslah menjadi opsi terkhir sebagai alternatif lansia dihari tua. Bagaimananpun lansia ingin melanjutkan sisa hidupnya dengan kegiatan yang berarti bersama dengan keluarga dan bisa melihat sendiri perkembangan keturunannya. Walaupun memang terkadang prilaku lansia seperti anak kecil, terkadang menyusahkan dan mungkin dapat dianggap sebagai beban, namun mungkin justru itulah lingkaran hidup, dan bisa dijadikan kesempatan untuk berbakti dan mengabdi, seperti apa yang telah diberikannya dengan tulus ketika kita dibesarkan :)

Love you nek, kek,, i’m proud of u..