Mengenang GUS DUR dan sedikit pandangan saya tentang agama

Tanggal 31 sampai tanggal 6 januari 2010 ditetapkan sebagai hari berkabung nasional oleh presiden SBY atas meninggalnya mantan presiden KH. Abdurrahman Wahid. Sebelum berita kematian dan banyaknya ulasan mengenai Gus Dur saya tidak mengetahui lebih jauh mengenai sosok beliau. Yang saya tahu selain mantan ketua PB NU yang mengangkat organisasi ini menjadi besar, mantan presiden yang penuh kontroversi termasuk salahsatunya adalah sebagai anggota tetap dalam organisasi Simon Perez dan juga orang yang blak-blakan, nampaknya beliau tidak suka basabasi dan formalitas.

Sebagai kiai dan orang yang besar dalam organisasi agama islam nampaknya beliau cukup unik dan berpikir berbeda dari pada kiai kebanyakan. Saya ingat ketika dahulu pernah ditanya mengenai keanggotaannya dalam organisasi israel simon perez dia menjawab santai “ bukankah jalan terbaik untuk mengetahui musuh adalah dengan masuk kedalam lingkaran musuh itu”. Jawaban yang santai itu ternyata membuat saya berpikir karena pastinya diperlukan kepintaran, keberanian, kesabaran dan keteguhan hati untuk melaksanakan ucapan tersebut agar tidak terseret didalamnya. Dan dia telah melakukannya.

Setelah melihat banyaknya ulasan mengenai sosok beliau saat ini dan begitu dipujanya oleh salahseorang teman yang beretnis tionghoa, saya baru mengetahui bahwa beliau adalah seorang yang pluralis. Menghormati keberagaman dan menjunjung perdamaian. Cukup menarik jika dikaitkan dengan keanggotaannya di simon perez. Ternyata beliau menyebut musuh bukan sebagai pihak yang harus diperangi dan dijauhi, namun yang harus didekati agar kita mengetahui pemikirannya sehingga dapat mengetahui perbedaan pemikiran yang ada dan pada akhirnya mendapat solusi sehingga perdamaian di dunia dapat tercapai.
------------------------------------------------

Berbicara mengenai agama, saya sepakat dengan beliau. Menurut saya yang masih tidak tahu apa-apa ini, keyakinan spiritual itulah yang penting, lebih dari jenis agamanya. Apalah arti birokrasi tertua sejagat sekalipun kalau inti dari keyakinannya cacat.Iman itu nomor satu baik kepada Allah, Buddha, Yesus, Wisnu atau kepada dewa-dewa paganisme. Semua agama di dunia ini ibarat mozaik yang berpendar dengan warnanya masing-masing dalam putaran spektrum. Matahari tetap satu, kendati pecahan warnanya bermacam-macam.

Kita adalah makhluk yang terbatas yang mencoba menguak ketidakterbatasan. Pertanyaan-pertanyaan kitalah yang berarti, bukan jawaban. Jawaban tak pernah sepenuhnya utuh karena dibatasi oleh indra fisik. Tak pernah sepenuhnya benar karena ‘jawaban’ manusia tentang rahasia tuhan selalui diwarnai perspektif budaya, sosial, kelaziman, prasangka, ketamakan dan sederet ‘dosa’ lainnya.

Pada dasarnya saya tidak suka doktrinasi. Doktrin tanpa penjelasan yang dapat diterima. pokonya ini benar, ini salah. Ini pahala, ini dosa. Ini haram, ini halal. Hal-hal yang terus ditanamkan kepada saya sedari kecil. Tetapi bukan berarti saya tidak beriman. Percaya. Yakin. Beriman pada hal-hal gaib adalah sumber kreativitas manusia-mengangkat kita pada pencapaian hal-hal yang tidak bisa dijelaskan oleh fenomena alamiah, selain memampukan kita untuk mentransendenkan jagat fisik. Semakin saya membaca buku-buku yang menguak banyaknya kontroversi dibalik birokrasi agama-agama seperti konferensi Nicean dan urutan peristiwa yang mengacu pada banyaknya kontroversi yang ada, dan juga banyaknya kekerasan dan ketidakadilan dengan mengatasnamakan agama dan ketuhanan, insya Allah justru membuat saya semakin meyakini Tuhan.

Setiap agama menurut saya layaknya pintu-pintu berbeda menuju satu Tuhan yang sama. Sebagai makhluk terbatas, kita tidak akan pernah bisa memahami lebih dari sekuku hitamnya ketidakterbatasan. Mungkin tidaklah heran kalau berbagai jenis orang dan budaya hanya mampu melihat versi masing-masing dari sedikit kebenaran tentang Tuhan. Seperti anekdot tiga orang buta mengambarkan seekor gajah. Kita adalah makhluk buta dengan caranya masing-masing. Setiap agama memiliki pandangan kesejatiannya sendiri tentang Tuhan.

Miris sekali ketika masing-masing agama kukuh memaksakan jalannyalah yang paling benar. Sama saja seperti tidak jujur terhadap imannya sendiri, sentimen untuk merendahkan sudut pandang individu lain tentang Tuhan. Iman adalah benang merah kita terhadap Tuhan. Sayangnya agama cenderung dijadikan usaha untuk memaksakan visi kita kepada oranglain.

Memaksakan visi bahkan bahkan menasbihkan tuhan dengan wujud menurut saya tidak ada bedanya dengan onani intelektual-berusaha membatasi yang tak terbatas, memberi wajah pada sesuatu yang tak berwajah-tidak diketahui wajahnya. Mungkin salahsatu dari sepuluh perintah tuhan yang melarang untuk membuat patung yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi, atau yang ada di dalam air di bawah bumi dalam kristen (link) adalah agar fokus pada abstraksi-pada ketidakterbatasan dan kemahabesaran ketimbang perwujudan konkret dan teologi semata. Beriman pada hal-hal gaib jauh lebih kuat ketimbang beriman pada hal-hal yang bisa diraba. Mungkin ujian sejati keimanan adalah meyakini tanpa melihat.

Pertanyaan yang penting, bukan jawaban. Pertanyaan untuk mencari hubungan yang lebih baik dan lebih dekat dengan Tuhan dengan tidak mengecualikan hubungan-hubungan lain yang telah dibangun. Bahwasanya tidak ada keyakinan yang berhak memonopoli Tuhan.
------------
Akhirnya terdapat aturan emas yang tetap bersemi di hati spiritual semua keyakinan. Hati yang sering diabaikan oleh mereka yang rajin berkhotbah dan menyatakan telah mempraktekan. Perintah abadi untuk mencintai sesama seperti mencintai diri sendiri dan memperlakukan oranglain sebagaimana ingin diperlakukan adalah hal teramat sederhana yang mestinya dapat dipahami, dimengerti dan dilakoni oleh pikiran sederhana sekalipun.

Seperti kata seorang yahudi bijak bernama Hillel “cintailah tetanggamu seperti engkau mencintai diri sendiri”“ untukmu agamamu, dan untukku agamaku” (al-quran surat al-kafirun ayat 6)

yg penting adalah bagaimana kita hidup bersama dengan persepsi dan pemikiran masing-masing. tdk lagi saling menjatuhkan, menghujat dan merasa paling benar karena rumusan ideal tdk akan pernah terjawab, i guess..

so, be tolerant..^^

2 komentar:

Anonim mengatakan...

LIKE THIS,,
setuju,
karena kita emang ngga akan pernah tau kebenaran hakiki itu seperti apa,,
buat saya, agama saya memang yg paling baik, tapi bukan berarti agama lain bukanlah agama yang baik.

"bagiku agamaku dan bagimu agamamu.."

Anonim mengatakan...

Mau Agamis, Ateis, Agnostik, kalau udah gak bisa toleransi sama aja otak nya isi nya berak

saya sepakat anita...

bertoleransi lah!

heheheeh

-Tarjo-

Posting Komentar