Pengalaman dengan seorang pengidap ADD+ADHD

Teman saya ini peranakan Inggris dan Prancis. Pembawaannya ceria, teman yang menyenangkan untuk diajak mengobrol, teman yang akan selalu ada ketika orang-orang di sekelilingnya membutuhkan bantuan, namun ada sesuatu yang ‘salah’ pada dirinya. Kebiasaannya yang sangat pelupa, tidak pernah fokus, selalu ingin bergerak, impulsif tingkat tinggi, seperti tidak memiliki tujuan hidup, emosional dengan mental yang tidak cocok dengan usianya dan sederet sikap buruk lainnya. Ada perasaan yang aneh ketika pertama kali melihat matanya, matanya seperti menyiratkan kata ‘help me” walaupun pembawaannya riang. Suatu ketika pamannya mengatakan padanya di depan saya “you’re a hopeless kid”. Tanpa sadar saya menitikan mata, menurut saya itu kata-kata yang tidak pantas dikatakan, seberapapun buruknya prilaku orang tersebut.

Setelah mengenalnya lebih jauh ternyata dia memiliki daftar pengalaman tidak menyenangkan. Dia kerapkali dikeluarkan di beberapa sekolah, sempat menjadi pecandu ganja kronis, dan yang paling mengerikan adalah pernah merencanakan untuk mengakhiri hidupnya. Dia tahu ada yang salah dengan dirinya, dia tidak nyaman, namun dia tidak tahu apa, dan orang-orang di sekelilingnya membuat kondisinya semakin buruk dengan justifikasi-justifikasi, daripada mempertanyakan dan membantu apa penyebab sikapnya seperti itu. Dia merasa tidak diterima dalam keluarga, dan sulit untuk bersosialisasi dalam bentuk hubungan professional. Dia memiliki banyak teman, namun cenderung lingkungannya memanfaatkan sikapnya yang penolong dan tulus untuk keuntungan pribadi. Akhirnya dia terjebak dalam lingkungan pecandu alkohol dan narkoba.

Ada dorongan yang kuat pada diri saya saat itu untuk mengetahui penyebab dan masalah teman saya ini. Keinginan untuk membantunya keluar dari lingkaran setan. Saya coba untuk menemaninya di waktu senggang dan mengobrol banyak. Paman dan tantenya yang merupakan bos saya pada saat itu merasa khawatir dengan kedekatan kami, mereka khawatir bahwa dia akan memberikan dampak buruk pada diri saya, mereka mengusir dia dari Indonesia, memperparah kondisi kejiwaannya, membuatnya merasa semakin tidak diterima dan terisolir. Saya mulai berpikir bahwa saya tidak dapat meninggalkannya, setidaknya pada saat itu. Saya yakin pasti ada jalan keluarnya. Walaupun dalam hati kecil berpikir akan lebih mudah bagi hidup saya jika terlepas dari dia, saat itu dia bersikeras untuk tetap tinggal di Indonesia. Masalah ini harus diselesaikan.

Bulan demi bulan dilalui dengan sulit. Saya seperti menghadapi seorang anak. Menemani dia membawa saya ke tingkat paralisis dan depresi, ditambah beban pekerjaan yang pada saat itu sangat intens. Suatu ketika Kym teman kantor saya mengatakan “Anita honey, this is not your responsibility! You don’t have to suffer for someone who don’t even wanna change his behavior”. Dengan beban pekerjaan, masalah pribadi, dan dia, berat badan saya menurun drastis. Kerap kali saya ingin menyerah, namun kerap kali pula saya melihat matanya dan saya hanya tidak dapat. Saya terjebak pada pertentangan-pertentangan yang ada pada diri saya.

Akhirnya saya mencoba untuk mencari-cari di internet dan mengobrol dengan teman psikolog. Kesimpulannya adalah kemungkinan dia mengidap ADD&ADHD. Keluar dari cengkeraman penyakit ini tidak mudah, terlebih belum pernah diberi pengobatan/terapi sampai usianya dewasa. Perlu kerja keras dari lingkungan sekitar untuk membantunya keluar dari penyakit ini. Seorang anak yang memiliki penyakit ini disekolah harus mendapat perhatian ekstra dan sebaiknya dipisahkan dari teman-teman yang lain, singkatnya anak dengan penyakit ini harus mendapat perlakuan yang berbeda dari anak-anak normal lainnya.

Saya heran mengapa keluarganya tidak dapat mendeteksi ini, Penyakit ini dapat disebabkan oleh genetik dan trauma masa kecil. Orang tuanya normal dan sukses secara karir, tidak ada tanda-tanda penyakit ini, maka kemungkinannya adalah trauma.  Saya coba mengkaitkannya dengan apa yang terjadi pada dia ketika berumur 2 tahun. Pada umur 2 tahun, wajahnya sempat dikoyak anjing peliharaan, menyebabkan dia harus dioperasi plastik untuk mengembalikan bentuk wajahnya, lalu sampai 6-8 tahun setelah itu dia tidak dapat tidur di malam hari, selalu ada mimpi buruk yang datang.

Saya lalu membuat rencana untuk sedikit-sedikit membuatnya mandiri dan tidak bergantung dengan orang-orang disekitarnya. Saya selalu mengatakan tidak ada yang dapat membantu dia selain dirinya sendiri, tidak keluarganya, tidak pula saya. Saya menyarankannya untuk kembali ke Prancis.

Setelah dia kembali di Prancis saya menyarankannya untuk bertemu dengan dokter spesialis, dan benar dugaan saya mengenai penyakit ini. Setelah melewati diagnosis selama 6-8 bulan lamanya, dia sekarang mendapat terapi dan pengobatan. Dipulihkan kembali harapannya. Ada perasaan senang dan bangga mendengar dia sekarang telah banyak berubah. Walaupun kami terpisah dan sulit bagi dia untuk terlepas dari saya, dia dapat memahami kondisi saya dan alasan mengapa saya meninggalkan dia. Tadi malam dia mengatakan sangat berterimakasih telah menemaninya di waktu-waktu sulit, dia sekarang bisa melihat masa depannya dengan lebih optimis. Senang bercampur sendu!! aaaahhh Terimakasih kembali untuk semua pelajaran yang berharga. That’s what friends are for, right? 

Saya tidak tahu di Indonesia penyakit ini dikenal apa tidak. Tapi bagi orang-orang yang memiliki anak, teman, kerabat yang memiliki tanda-tanda penyakit ini, sebaiknya segera diperiksakan ke dokter untuk mendapatkan penanganan karena semakin dewasa akan semakin sulit untuk memulihkannya. Di banyak kasus yang saya baca, kecendrungan keluarga menganggap sikap ini hanya sebagai bentuk kemalasan, tidak punya motivasi, mental excuse untuk tidak mau menjadi dewasa. Padahal orang yang mengidap penyakit ini tahu betul ada yang salah dengan dirinya, namun dia tidak tahu bagaimana mengungkapkannya. Hindari untuk memberikan reaksi negatif seberapapun buruk sikapnya, karena hanya akan memperparah dan tidak menjadi solusi.

Tanda-tanda penyakit ini dari www.helpguide.org:

§   “zoning out” without realizing it, even in the middle of a conversation
§   extreme distractibility; wandering attention makes it hard to stay on track
§   difficulty paying attention or focusing, such as when reading or listening to others
§   struggling to complete tasks, even ones that seem simple
§   tendency to overlook details, leading to errors or incomplete work
§   poor listening skills; hard time remembering conversations and following directions
§   poor organizational skills (home, office, desk, or car is extremely messy and cluttered)
§   tendency to procrastinate
§   trouble starting and finishing projects
§   chronic lateness
§   frequently forgetting appointments, commitments, and deadlines
§   constantly losing or misplacing things (keys, wallet, phone, documents, bills)
§   underestimating the time 
§   frequently interrupt others or talk over them
§   have poor self-control
§   blurt out thoughts that are rude or inappropriate without thinking
§   have addictive tendencies
§   act recklessly or spontaneously without regard for consequences
§   have trouble behaving in socially appropriate ways (such as sitting still during a long meeting)
§   sense of underachievement
§   doesn’t deal well with frustration
§   easily flustered and stressed out
§   irritability or mood swings
§   trouble staying motivated
§   hypersensitivity to criticism
§   short, often explosive, temper
§   low self-esteem and sense of insecurity
§   feelings of inner restlessness, agitation
§   tendency to take risks
§   getting bored easily
§   racing thoughts
§   trouble sitting still; constant fidgeting
§   craving for excitement
§   talking excessively
§   doing a million things at once

Semoga Bermanfaat.

3 komentar:

Unknown mengatakan...

saya baru didiagnosa dengan ADD, mulanya oleh dokter tradisional di bangka, lalu oleh psikolog. Setelah itu saya dianjurkan pergi ke rumah sakit untuk menjalani tes lengkap dan hasilnya saya positif ADD. Saya merasa sangat lega, karena seperti temanmu, saya tahu ada sesuatu yang salah dengan saya. Saya bukan orang malas, IQ saya oke tapi prestasi saya di sekolah buruk sekali. Hasilnya teman2 di sekolah menghindari saya, guru2 judes pada saya bahkan tidak segan2 sekali menghibahkan 1 jam pelajaran cuma untuk menyindir saya habis2an (sekolah saya dulu sekolah yang cukup ambisius mengincar nilai UAN tertinggi Jakarta). Di sisi lain, saya tidak menyesal mengidap ADD. Saya jauh lebih kreatif daripada orang2 di sekitar saya.

Unknown mengatakan...

Lucunya, orang2 di sekitar saya nggak banyak yang tahu apa itu ADD. Pacar saya membaca sebuah artikel di internet dan dia bilang 'oh, penyakit yang membuat orang malas itu kan?', karena ogah berdebat saya tidak bilang apa2 lagi, saya malas lanjut mengakui diagnosis ADD. Dia bukan satu2nya yang bereaksi seperti itu. Beruntung sahabat baik saya seorang psikolog, jadi minimal dia mengerti kalau ADD bukanlah penyakit pembuat malas atau kondisi fiktiv. Cuma ke dialah saya akhirnya mengakui diagnosis ADD. Karena ADD saya sempat trauma dan depresi berat setelah selesai SMA. Sejujurnya saya nyaris bunuh diri. Saya pernah makan puluhan pil tidur tapi selamat.

Unknown mengatakan...

First of all, I refuse to say that ADHD is a sickness. ADHD tidak bisa disembuhkan maka tidak dapat dibilang sebagai penyakit. Hanya bisa diterapi supaya anak dengan ADHD bisa mengontrolnya saat dewasa. Saya sendiri dinyatakan mempunyai ADHD dan ADD ketika saya berumur 8 tahun. Masa-masa yang berat karena mama saya menolak terapi dengan obat yang harganya tidak murah dan harus tiap hari saya minum. Mama takut jika obat-obatan itu berpengaruh pada ginjal saya. Pada awalnya psikolog sekolah menawarkan sesi khusus sepulang sekolah. Tetapi mereka akhirnya menyarankan mama untuk membawa saya ke tempat terapi khusus. Setiap pagi saya sekolah normal, namun pada saat sore setiap hari selasa dan kamis, saya harus terapi di sekolah khusus. Karena nilai saya mengalami penurunan drastis dan saya sulit fokus terutama jika ada yang men-trigger ADHD saya. Sekarang saya sudah jauh lebih mampu mengontrol ADHD karena early diagnosis dan terapi yang saya jalankan selama 2 tahun. Maka dari itu, jangan meremehkan anak apabila mulai menunjukkan ADHD symptoms.

Posting Komentar