Pagi ini saya membaca surat kabar bahwa ke 12 mahasiswa yang tertangkap sebagai joki dihilangkan status sebagai mahasiswa s1 ITB. keduabelas orang itu dikenai sanksi DO. Mereka terbukti melanggar pidana dan mendapatkan sanksi DO karena seperti tercantum pada peraturan ITB bahwa mahasiswa yang melakukan tindak pidana dan terbukti bersalah maka sanksinya adalah dicabut status kemahasiswaan secara permanen.
Saya tidak tahu bagaimana proses sidang oleh KPN (komisi penegakan norma ITB) yang berhak mengeluarkan usulan sanksi kepada rektor terhadap kasus ini, yang pasti karena kebetulan saya berkesempatan mewakili mahasiswa dalam beberapa sidang kasus kaderisasi IMG maupun kasus perkelahian, pada sidang-sidang yang berlangsung tertutup dan hanya boleh diwakili oleh 4 orang dari perwakilan mahasiswa tersebut yang saya lihat semuanya mengacu pada buku peraturan akademik. Namun jika dilihat lagi pasal perpasal, dapat terlihat bahwa peraturan akademik ini tidak menjelaskan parameter secara rinci dan jelas. Beberapa kali mencoba mempertanyakan ini, tetapi selalu mendapat jawaban bahwa ini hukum NOrma. bukan hukum pidana ataupun perdata. dengan kondisi seperti ini proses dalam persidangan menjadi sangat penting untuk menentukan sanksi mana yang akan diberikan, karena sanksi yang tertuang pada buku peraturan akademik ternyata tidaklah mutlak.sehingga selain dari argumen advokasi perwakilan mahasiswa, sikap tertuduh selama persidangan dan pengungkapan perasaan menyesal menjadi sangat berpengaruh.
Sekarang jika kita melihat pada kasus joki ini, nampaknya untuk kasus pidana, sanksi yg diberlakukan bersifat mutlak. Sebagai mahasiswa, saya melihat hal ini sangat wajar mengingat setiap mahasiswa mendapat buku peraturan itu ketika pertama kali diterima di kampus, dan sebagai mahasiswa sepatutnya kita memahami apa yang menjadi hak dan kewajiban kita. disana jelas tercantum sanksi yang akan diberikan kepada mahasiswa yang melakukan tindak pidana, untuk itu seharusnya mahasiswa berpikir seribu kali sebelum melakukan hal-hal yang melanggar, apapun alasannya.
Namun disisi lain, sebenarnya saya kurang setuju dengan pemberlakuan DO untuk kasus ini. mungkin bukan tidak setuju DO, tapi tidak setuju jika hanya DO tanpa ada proses lainnya. ITB adalah institusi pendidikan, tapi memberikan sanksi yang tidak memuat unsur yang mendidik. menghilangkan kemungkinan bahwa seorang manusia dapat memperbaiki diri dan lingkungannya. sama halnya dengan terorisme, seperti mengutip kata mantan densus 88, permasalahan tidak dapat diselesaikan dengan hanya menangkap, lalu eksekusi, lebih dari itu proses pendekatan secara personal, pembimbingan dan memberikan pemahaman secara mnyeluruh akan jauh lebih efektif dan mengakar. Dengan hanya memberlakukan DO pada kasus ini, ITB sebagai institusi pendidikan menghilangkan esensi dari pendidikan itu sendiri, karena bukankah pendidikan sebenarnya adalah character building? ITB Seolah angkat tangan dan mempersilahkan untuk mendapatkan 'pendidikan' di tempat lain.
Maka sekarang kita tanyakan pada diri masing-masing, sebagai mahasiswa ITB sudahkah kita membacanya dengan baik-baik buku peraturan kita? atukah hanya menganggap itu buku tidak penting yang hanya dibaca sekilas ketika euphoria masuk ke perguruan yang katanya terbaik ini.
Memang masih banyak yang harus dievaluasi. seharusnya parameter pada buku peraturan ini juga diperjelas sehingga tidak terjadi kesalahapahaman dan subjektifitas. Hal ini sudah pernah disampaikan pada forum dengan rektorat, saya berharap semoga pembentukan AD-ART ITB BHPP yang saat ini sedang dirancang dan didalamnya memuat peraturan akademik dapat merespon ini.
Setiap orang memang memiliki hak dan kewajiban. rasanya tidaklah adil menggugat peraturan hanya ketika kita sudah terkena masalah dari peraturan tersebut. kemana kita ketika mendapat buku peraturan? bukankah diam berarti menyepakati? sudah saatnya mahasiswa bergerak lebih proaktif bukan reaktif dan beragumen untuk tujuan konstruktif bukan destruktif. salam mahasiswa!:D