Extraits de vie

Saya kerapkali mengunjungi sebuah rumah. Yah rumah. Mungkin memang tidak bisa dimasukan dalam kategori rumah dalam tipologi rumah yang dikenal di arsitektur yang lengkap dengan berbagai fungsi ruang didalamnya. Tapi itulah rumah bagi sekitar 30 individu. Tempat berkumpul, beristirahat, menjaga, belajar dan juga saling berbagi antar saudara. Tapi jangan mengharapkan disana terdapat sosok yang biasa kita sebut sebagai ayah, ibu, maupun anak. Disanalah tempat berkumpulnya individu2 yang berusaha untuk bertahan hidup. Sosok-sosok tangguh yang mencoba memaknai dunia dengan segala realita kehidupan yang dihadapinya.

Ngeri. Itulah yang saya rasakan ketika pertamakali menginjakan kaki disana. Terdapat 3 orang anak yang sedang meringkuk sambil mengisap lem aibon. Merinding. Dan mereka lalu menyambut kami (saya datang bersama 4 orang teman lainnya). Mereka tersenyum ketika kami datang dan langsung menghapiri untuk menyiumi tangan kami. Yah saya cukup kaget dibuatnya-bukan hanya karena saya tidak menyukai salam seperti itu, bentuk salam yang mungkin dianggap sopan-tetapi saya menganggap itu sebagai salahsatu bentuk feodalisme, tapi karena mereka menampakan wajah polos dengan keceriaan selayaknya bocah kecil. Wajah yang mengartikan ‘kami butuh perhatian’

Setelah beberapa waktu kesana untuk hanya sekedar mengobrol, mengajarkan matematika dan mendengarkan mereka berpidato-istilah yang kami gunakan ketika mereka berbicara satu persatu tentang pengalamannya. Mereka membicarakan kehidupan masa lalu yang terekam diingatannya masing-masing yang bagi saya teramat mengerikan, tetap dengan senyuman tulus mereka. OMG. Saya tidak dapat menahan sakit yang saya rasakan ketika mendengarnya. Masa lalu kelam telah menjadi pengiring kehidupan mereka yang bekerja sebagai pengamen, pemotong daging dan berbagai pekerjaan lain yang dapat ditemukan di pasar, halaman rumah mereka.

Hal yang paling menyedihkan dari mereka adalah mereka mengeLEM. Oke kita semua tahu itu berbahaya bagi perkembangan mereka, itu dapat merusak otak dan berbagai dampak negatif lainnya. Dari percakapan dan kegiatan matematika yang ternyata sangat diminati mereka, saya sadar mereka mengeLEM untuk menahan lapar dan merupakan teman yang selalu ada menemani mereka, saat-saat dimana dulu saya seumur mereka dirangkul, dipeluk, dan dicium oleh ibu dan ayah. Hampir semua yang saya tanya mengapa mereka mengeLEM menjawab dengan lantang, untuk menahan lapar ka. Ya, kenyang, kegiatan dan temanlah yang mereka butuhkan. Lem hanya alternatif yang paling memungkinkan bagi mereka untuk mendapatkan kebutuhan tersebut. So.... dapatkah kita memberi alternatif-alternatif lain yang lebih baik bagi mereka??

Berapa banyak anak-anak di bandung, atau Indonesia dan bahkan dunia yang senasib dengan mereka. Anak-anak yang terbuang, anak-anak yang tidak mengenal perayaan ulangtahun. Jangankan perayaan, tanggal lahirpun mereka tidak mengetahuinya. Anak-anak yang tumbuh dengan sendirinya layaknya binatang tanpa arahan dari kedua induknya untuk berkembang, yang mungkin nantinya sangat sulit dapat mendapatkan tempat dan posisi yang layak di masyarakat, sulitnya mendapat akses pendidikan untuk masa depan yang cerah. Lantas layakah kita menyebut mereka pantas miskin?

Bercampur perasaan dan emosi melihat realita yang ada. Lalu bagaimana memulai untuk mencoba sedikit berbagi, mencoba sedikit mengurangi ketidakidealan dari lingkup terkecil. Ada keinginan untuk mengajarkan kerajinan dan mencoba mengkoordinir agar mereka dapat menjualnya, tetap mengajarkan matematika dan menjadi teman yang sesekali mengunjungi dan membawakan makanan yang tidak seberapa, mencoba untuk tetap mengobarkan harapan akan masa depannya. Namun, cukupkah itu semua?

Saya benar-benar belajar dari mereka. Yang saya rasakan bukan lagi rasa ngeri, tapi malu. Malu dengan rengekan, malu betapa manjanya saya yang terbuai dengan kemudahan dan akses untuk mendapatkan kenyamanan. Mereka membukakan pikiran saya untuk bersyukur dan memanfaatkan apa yang saya dapat dengan sebaik-baiknya. Saya harus menyelesaikan kewajiban dan hak studi saya dengan baik agar nantinya dapat dengan lebih nyata memberi pengaruh terhadap kehidupan mereka. Terimakasih kepada anak-anak rumah belajar sahaja yang sudah membukakan mata saya. Saya akan berusaha menjadi teman yang baik, semoga Tuhan memberkati kalian semua.

tulisan yujin yang bagus ditambah suka bgt sama romo mangun.. so inspiring :)


Hm.. kira - kira awal april atau akhir maret kematin ya? saya agak lupa. tetapi, waktu itu saya diberi kesempatan untuk pergi ke jogja dan menelusuri karya-karya Romo Mangun.

Mungkin beberapa di antara anda sudah tahu Romo Mangun, dan jadi anggota fansnya yang sekarang kira-kira sudah 22 ribu orang. Namun, apakah anda sekalian pernah melihat dan merasakan karyanya secara langsung? Mungkin ada yang sudah dan ada yang belum.
Atau ada yang sekedar ikut-ikutan jadi fansnya, belum tahu.

Sebelumnya, berterimakasih kepada Indra Pramana yang mengenalkan saya (tentu secara tidak langsung) kepada Y.B. Mangunwijaya, ketika itu ia sedang memfotokopi buku Wastu Citra, yang saya bingung.
"Bukan buku arsitektur yah ndra?"
"Yah fotokopi dulu aja deh Jin, bagus kok."
Memang saya salut sama Indra yang memiliki pengetahuan yang luar biasa, namun terkadang produk yang ia keluarkan seringkali sebuah amarah yang luar biasa pula (haahhahahaha. bercanda loh ndra).

Singkat cerita, disitulah saya awal mula mengetahui Y.B. Mangunwijaya, belum mengenal.

Sebenarnya atmosfir yang ditawarkan DI Jogja memang berbeda. Berbeda sekali dengan Jakarta-tempat kelahiran saya, ataupun Bandung-tempat saya sedang menempuh pendidikan ber-arsitektur.

Jogja..
It is not easy to describe a place, unless you give a value to it.
As we know already, a space become a place if you put a value into it.

Jogja itu, mungkin mencerminkan masyarakatnya.
Kalem. Saat itu bagi saya, yang sedang dirundung permasalahan, baik akademik maupun non akademik, bagaikan sebuah asylum.Tenang.

Lantas saya berpikir, mungkin memang di tempat seperti Jogja ini, saya dapat merasakan Arsitektur (wastu citra) yang sesungguhnya.

awalnya, kami semua, yaitu Anexus Philosophus, Mas Umbu, Boti, Binsar snap-snap-snap, dan kokommakantidur, tiba pukul 5 pagi di Jogja. Setelah beristirahat sebentar kami langsung pergi menuju Sendang Sono, sebuah tempat berziarah. Disana mungkin ibaratnya orang pertama kali berkenalan, kita butuh proses mencerna. Saya sendiri belum bisa berpendapat apa-apa, selain arsitektur yang dirasakan adalah suatu ruang-ruang yang menawarkan keheningan dan pencerahan berfikir dan juga ada bentukan-bentukan pemecah keheningan, dikala keheningan itu menjadi bising.

Selanjutnya, kami pergi ke Gereja Salam, Maria Assumpta, aduh sampe lupa. ada 5 atau 6 yah nex? saya agak lupa. bukan berarti karyanya fogettable, tapi memang saya seorang pelupa, lebih tepatnya.

Ketika berkunjung ke Gereja Maria Assumpta di Klaten, Oh iya, disana Job desc saya adalah seorang supir, jadinya, yah kalo lupa-lupa yah karena saya mengantuk.Jogja-klaten. Jogja-mana. Jogja - mana, dan seluruh penumpang tidur. Jadi agak ikut merasakan perasaan mas-mas jasa travel Bandung-Jakarta.

Di gereja itu sedang melaksanakan Minggu Palem. suatu pra acara menyambut kebangkitan Yesus Kristus. Disana, mba kokom dan mba Bothie agaknya canggung untuk ikut masuk dan merayakan. sayapun sebenarnya lapar dan hendak mencari makan.

Kitapun akhirnya naik becak, dan pergi ke alun-alun kota. Makan Soto hanya 3ribu rupiah semangkuk. wah dimanalagi. tadinya mau makan KFC - Klaten Fried Chicken. ada lho! beneran! sungguhan!

Itu selingan aja.

Gereja Maria Assumpta ini terinspirasi dari Ron Champ-nya Corbu. maka bukaan-bukaan yang mendapatkan sinar, yang agaknya terkomposisi secara abstrak (saya yakin ada makna dibalik irama bukaan tersebut), terinspirasi dari sana.

yang paling membekas bagi saya adalah perjalanan terakhir. Perjalanan terkhir adalah Kuwera, yang notabene adalah rumah dari Y.B. Mangunwijaya. Disana saya dikenalkan dengan Mba Dini, selaku asisten paling terakhir dari Y.B. Mangunwijaya. Disana kami berdiskusi, mencoba mngenal Y.B. Mangunwijaya dari perspektif orang lain. Lalu kitapun melihat - lihat rumahnya. Buat saya, rumah itu luar biasa. Saya terenyuh. Y.B. Mangunwijaya memiliki perpustakaan sendiri, dimana sudah terdapat pembagian seperti, bidang sosial, politik, budaya,agama, sastra, seni, dan arsitektur dan banyak lagi.

Perlu anda ketahui, Y.B. Mangunwijaya bukanlah seorang spesialis. Ia adalah seorang Generalis. silahkan selami sendriri maknanya.

Disana saya merasakan program ruang yang ber-irama, program ruang yang bergerak dengan dinamis dimana Y.B. Mangunwijaya melakukan penerapan leveling yang berbeda. Jadi tidak hanya sekedar rumah 2 tingkat. Tetapi seperti rumah bertingkat-tingkat, karena ada kualitas ruang yang berbeda. Ada ruang yang dalam event tertentu dapat beralih fungsi menjadi ruang beribadah. Yaitu ruang makan, dan tetap ada mimbar, dimana Y.B. Mangunwijaya sebagai seorang Pastur, dapat menginjil.

Wah, anda harus kesana sendiri. Karena bagi saya yang dalam kapasitas mahasiswa, kosa kata yang dapat saya jabarkan untuk menjelaskan sepertinya masih terbatas.

Pernah saya bebagi pengalaman akan hal ini kepada teman saya, dan seorang lulusan Unpar. Ketika saya bercerita, entah mengapa lulusan ini langsung berpendapat.
" Wah ngapain bikin bangunan gitu, itu cost-nya dan blablablablabla" Wah tentu saya kecewa. Mengapa lulusan ini dapat berpikir sperti itu ya? Maksud saya langsung berpikir untung-rugi. Mengapa ia, sebagai lulusan arsitektur, tidak berbicara lebih secara arsitektural. Dalam artian, kualitas ruang yang ada. Atau misalnya fungsi nya sebagai rumah dan pada konteks seorang Y.B. Mangunwijaya.

kita tinggalkan saja pembicaraan tersebut.

Sebenarnya apa yang saya dapat itu begitu banyak, namun susah untuk diungkapkan.
Yang saya paling ingat adalah ketika Mba Dini mengatakan :
" Y.B. Mangunwijaya itu sangat percaya akan proses. Seperti misalnya kita di proses oleh lingkungan sekitar. Lantas sebagai manusia, jangan hanya mau menerima proses apa yang diberikan oleh lingkungan, namun apa yang dapat kita berikan juga kepada lingkungan kita? Disanalah ada proses. Manusia itu hidup dengan proses. Ada suatu diagram, dimana menunjukkan hubungan segitiga, yaitu antara kita dengan Allah Pencipta, dan dengan sesama ciptaan Nya, termasuk lingkungan. Romo percaya itu. Hal itu ditunjukkan melalui detil-detil yang sangat cantik. Mungkin kita berpikir, bahwa sulit sekali untuk perawatannya, untuk maintenance dsb, tetapi, kita jangan menyukai rumah kita kalau sedang bagus saja, ketika kita (seandainya memiliki rumah beribu detail seperti Romo Mangun) sedang merawat dan membersihkan detil-detil itu, Romo percaya bahwa disitulah kita berproses, dan bertumbuh untuk mencintai rumah kita (ataupun wastu citra)"

Jawaban itu langsung mengena. Langsung terenyuh.

Banyak kesan yang saya dapat. dan melalui perjalanan seperti inilah, saya semakin menyadari bahwa profesi yang akan saya geluti ini, menyentuh banyak aspek. Perlu anda sadari kapasitas seorang arsitek. Sejauh mana sebuah karya arsitektur menyentuh kehidupan orang banyak.

Semua itu menimbulkan pertanyaan di dalam diri saya, dan mungkin untuk anda sekalian juga. Saya mau jadi arsitek yang bagaimana? Dan kalau saya, setelah lulus, apakah saya mau menjadi arsitek? haha.

Silahkan anda masing-masing menjawab.

Terimakasih sudah menyempatkan diri membaca tulisan ini, mohon maaf bila ada kata-kata yang salah . Sukses menjalani hidup. AMin.


thx Eugene tehupuring untuk tulisan di atas, menginspirasi :)

Sebuah apresiasi terhadap Gereja katolik Pohsarang, Kediri, Jawa Timur.


Arsitektur berpengaruh besar terhadap kehidupan manusia dalam menjalani kehidupannya termasuk dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Agama sejatinya mendukung manusia untuk selalu mencintai tuhan dan sesama manusia lainnya. Untuk itulah sebuah arsitektur bangunan keagamaan harus dapat mengakomodasi kebutuhan manusia untuk berkomunikasi dengan tuhan dan manusia lainnya sehingga manusia dapat menjalani kehidupan seutuhnya.

Gereja pohsarang yang terdapat di Kediri merupakan gereja yang dibangun pada tahun 20an. Dibangun pada saat gereja-gereja di indonesia dan dunia berkiblat pada gereja abad pertengahan bergaya romanesk dan barok dengan bangunan yang tinggi menjulang dengan kolom-kolom besar, gaya arsitektur gereja yang sampai saat ini banyak diadopsi. Menunjukan kemegahan suatu bangunan keagamaan.

Namun apakah suatu kebutuhan untuk bergama, menyembah, memanjatkan puji dan doa kepada tuhannya dan menyayangi sesamanya memerlukan suatu bentukan arsitektur yang bermegah-megahan? Memang tidak ada yang salah dengan ini. Bentukan arsitektur yang megah dengan penuh ukiran dapat membuat manusia yang ada di dalamnya merasa kecil dan tidak berarti, cara untuk menunjukan kebesaran Tuhan.

Namun sungguh amat disayangkan jika bentukan arsitektur keagamaan yang bermegah-megahan justru membentuk jarak antara satu manusia dan manusia lainnya. Apalagi sampai menghilangkan nilai-nilai budaya dan potensi lingkungannya, teknologi struktur baru, dan terpaku pada keajaiban bangunan peribadatan pada masa lampau. Dengan kondisi rata-rata masyarakat Indonesia yang masih jauh dari titik kemapanan secara ekonomi, amat disayangkan jika justru bangunan keagamaan memberikan rasa keseganan. Menjadi bangunan yang tidak dapat merangkul semua golongan pemeluk agama tersebut.

Saya pernah mendengar dari seorang teman bahwa di gereja dekat rumahnya akan diperbaiki dan dibangun menjadi gereja yang besar dan bergaya arsitektur barok dengan biaya yang tidak sedikit dengan dibantu oleh sumbangan para jemaat dan dari berbagai donasi. Ironi, karena saya tahu tempat tersebut merupakan kawasan masyarakat menengah kebawah, berada di lingkungan pasar yang banyak menampung para tuna wisma. Kondisi masyarakat yang memprihatinkan, dan saya tidak dapat membayangkan sebuah Bangunan keagamaan akan lahir disana, seolah menjadi makhluk asing yang angkuh.

Lantas apa hubungannya dengan gereja pohsarang?

Gereja pohsarang berada di kediri, kota di Jawa timur yang banyak memiliki nilai budaya jawa yang kuat. Kota lahirnya kerajaan besar majapahit dengan nilai historis yang tinggi. Di kota ini banyak peninggalan candi jawa timur, khususnya candi agama hindu dan merupakan kota penghasil batu. Kota inipun terkenal dengan kerajinan tembikar, bahkan kerajinan ini pada masa lampau terkenal sampai ke asia tenggara.

Gereja pohsarang dibangun dengan sangat indah dengan mencampurkangaya arsitektur jawa yang berupa pendapa dan candi dengan teknologi rangka kayu yang dipadukan teknologi baru saat itu, yaitu sistem tarik dengan jaringan kawat galvanis dan simbolisme gereja katolik. Gereja ini tidak sepenuhnya mengambil bentukan arsitektur gereja katolik, namun disesuaikan dengan kondisi masyarakat kediri dan potensi setempat. Tranformasi budaya yang berada pada bangunan gereja pohsarang inilah yang membuat saya tertarik akan gereja ini hingga akhirnya menjadi salah satu bangunan yang saya bahas pada KK saya sejarah teori dan kritik Arsitektur dengan membandingkan sampai ke detail antara bangunan candi jawa timur lengkap dengan sejarah majapahitnya, gereja bergaya abad pertengahan dan gereja katolik Pohsarang. disini saya akan merangkum garis besar dan hal2 yang bersifat umumnya saja dari transformasi tersebut :)

Wujud dari Gereja Pohsarang adalah segitiga dan lengkung. Segitiga merupakan wujud yang sama yang dapat ditemukan pula pada gereja bergaya romanesk maupun gotik, juga pada banyak candi hindu yang ada di Jawa timur.Kesamaan wujud segitiga dengan bangunan yang mengarah keatas menunjukan keseimbangan dan sebagai simbolisasi menuju kearah tuhan.

Yang kedua adalah wujud lengkung. Wujud lengkung yang ada pada Gereja pohsarangpun sama dengan wujud yang ada pada arsitektur Gereja bergaya romanesk dan pada candi di Jawa Timur. Namun hal yang melatarbelakangilah yang berbeda. Pada Gereja Pohsarang dan Gereja bergaya romanesk unsur lengkung tercipta karena teknologi struktur yang digunakan sedangkan pada candi merupakan simbol samsara yang berarti lahir, hidup, mati, dan lahir kembali.

Berdasarkan fungsi secara umum kebutuhan sebagai tempat peribadatan terdapat di Pohsarang. Namun Pada Pohsarang terdiri dari beberapa bangunan terpisah dan memanfaatkan lansekap sebagai bagian dari Gereja. Ruang pada lansekap dan beberapa ruang yang sengaja dibuat kosong pada bagian pendapa dimaksudkan untuk tempat berkumpul dan bersosialisasi atau acara-acara bagi masyarakat seperti sendratari. Fungsi tambahan ini merupakan fungsi yang sering diadakan pula pada bangunan candi dan merupakan budaya masyarakat setempat. Inilah yang membedakan Pohsarang dengan Gereja katolik lainnyayang merupakan satu ruang besar dengan kolom-kolom yang berjajar dengan orientasi kedalam bangunan, tidak memiliki dialog dengan alam dan lingkungan sekitarnya.

Hal penting yang saya amati adalah adanya kesamaan antara bangunan Gereja Pohsarang dengan gereja katolik lain dan juga candi hindu bahwa terdapat hirarki pada setiap bangunannya, seperti penggunaan tangga maupun urutan ruangan. hirarki atau urutan ini merupakan simbol proses yang harus ditahapi untuk menuju kearah tuhan.

Dalam segi pemilihan bahan dan konstruksi Pohsarang mengunakan bahan yang ada di daerah setempat dengan memakai system penumpukan batu dengan perekat yang sama pada candi yang ada di Jawa Timur dan menerapkan teknologi struktur tarik yang merupakan teknologi baru. Inilah perbedaannya dengan Gereja katolik lain yang meniru gaya gotik dan romanesk yang masih menggunakan busur lengkung dengan kolom-kolom batu yang rapat. Hal ini tidak mencerminkan semangat jamannya karena pada waktu itu sebenarnya telah ditemukan teknologi baru yang melampaui dengan apa yang ada di abad pertengahan.

Dalam hal estetika, gereja pohsarang memiliki banyak kesamaan baikdengan Gereja bergaya romanesk, gotik dan pada candi jawa Timur. elemen estetika sama-sama banyak ditujukan untuk simbolisme ajaran, seperti cerita- cerita yang ada pada alkitab atau pada kitab-kitab hindu. Perbedaannya pada gereja Pohsarang dan candi simbolisme diwujudkan dalam relief-relief dan patung dari batu, sedangkan pada gereja katolik kolonial lain yang bergaya romanesk dan gotik simbolisme tercipta pada patung beton dan lukisan/ mural.

Performa secara umum yang menggambarkan gereja katolik terutama pada masa kolonial yang meniru gaya romanesk dan gotik adalah kesan monumental, megah, tinggi menjulang, Pada bangunan candi pun kesan yang didapat adalah monumental dan sakral. Sedangkan gereja Pohsarang berkesan membumi dengan adanya integrasi dan penggunaan unsur-unsur alam dengan skala bentuk manusiayang tidak monumental. Untuk acara pujian dan ritual lainpun gereja pohsarang menggunakan gamelan sebagai alat musiknya.

Bagaimana jika menggunakan arsitektur gereja semacam ini untuk kuil Budha atau masjid? Apakah Kompleks gereja Pohsarang, dengan suatu cara hendak menunjuk keatas lalu ditemukan kesamaan pada bangunan-bangunan lain bahwa sebagian besar dengan suatu cara pun menuju ke tingkat lebih tinggi, menunjuk kearah Tuhan. Kadang terdapat keinginan untuk memberikan perbedaan skala, bangunan dibuat besar, membuat kita merasa kecil. Bagaimanapun caranya menterjemahkan sikap dan rasa berserah diri pada Tuhan tersebut pada esensinya bangunan gereja merupakan tempat umat beribadat kepada Tuhannya yang harus dapat mengakomodasi kebutuhan umat tanpa rasa segan.

Gereja Pohsarang benar-benar dirancang semata-mata untuk memenuhi kebutuhan umat yang ada di kediri saat itu. Dengan memanfaatkan semua potensi, tradisi, budaya lokal dan mencampurnya dengan teknologi baru tanpa menhilangkan nilai-nilai religi dan identitas gereja katolik. Arsitektur Pohsarang membawa semangat pembaruan dan persatuan. Menunjukan agama katolik sebagai agama yang terbuka dan memasyarakat. 

foto2nya menyusul :)

dibawah pohon



















Film ini disutradarai oleh Garin Nugroho dan dibintangi oleh Marcella Zalianty, Nadia Saphira, dan Ayu Laksmi. Berkisah tentang problematika hidup yang dialami oleh tiga wanita yang sama-sama berlokasi di pulau Bali. Wanita yang pertama, yakni Maharani (Marcella Zalianty) adalah wanita yang mencari ibu kandungnya, dengan berbekal informasi bahwa ibunya adalah seorang penari yang tinggal di Bali, kemudian ia melakukan perjalanan ke Bali dan tinggal di sebuah perkampungan penari. Namun, di sana Maharani malah menjadi tersangka dalam kasus perdagangan bayi. Kemudian, kisah wanita selanjutnya, yakni Nian (Nadia Shapira) yang berlatar belakang keluarga kaya dan jatuh cinta kepada seorang pria paruh baya. Namun, pria itu sebenarnya sudah dianggap meninggal dan telah melalui prosesi Ngaben. Sementara itu, kisah wanita ketiga, yakni Dewi (Ayu Laksmi) harus menerima kenyataan bahwa bayi yang ada dalam kandungnya menderita penyakit kelainan otak dan divonis tidak mampu bertahan hidup, dan dokter pun menyarankan untuk mengaborsi kandungannya. Film ini menyajikan rangkuman kebudayaan masyarakat Bali, seperti pentas drama tari Calonarang yang bisa menyebabkan kematian para pemainnya hingga upacara Ngaben tersaji dengan apik. Film ini menyajikan bagaimana kondisi wanita dalam kehidupan sosial masyarakat, khususnya dalam budaya Bali.

Judul filmnya sendiri “Under The Tree” terkait dengan nilai filosofi tersendiri dalam budaya Bali, yaitu falsafah hidup masyarakat tentang Rwa Bhineda, yaitu mengenai dua hal yang berbeda, antara dunia jiwa dan raga, sekala dan niskala, serta keindahan dan kesakralan. Judul ini memberikan makna bahwa pohon dan sekitarnya adalah dunia atau kehidupan itu sendiri, yakni dunia jiwa dan raga, tempat beristirahat, tempat bermain, dunia yang ingin dicari namun kadang tak lagi dijaga keberadaannya. Bali dianalogikan sebagai pohon, dimana tiga wanita ini berteduh dari segala masalah hidup.

keindahan masjid salman

Masjid salman berada tepat di depan kampus ITB . sepintas orang mungkin tidak menyadari bahwa bangunan itu merupakan bangunan masjid. Bangunan ini berbeda dengan bangunan masjid yang biasanya memiliki kubah. Ya, kubah merupakan ciri dari masjid yang paling mudah. Hampir semua masjid menggunakan kubah sebagai identitasnya dengan ujung yang meruncing dan mengarah keatas.

Keindahan yang ada pada masjid salman ini adalah bentuknya yang dihasilkan dari metafora. Bentuk atap berupa lengkungan yang menengadah, menggambarkan tangan yang sedang terbuka dan memanjatkan doa. Bentuk inipun dapat menggambarkan buku yang sedang terbuka. Merupakan simbol sebagai sarana untuk mendapatkan kebenaran dengan terus mencari, hal yang sama dengan membaca.

Dengan bentuk atap yang seperti ini, air hujan yang merupakan anugrah dari tuhan dapat tertampung sehingga dapat digunakan untuk air wudhu. Teknologi dan kreatifitas dari sang arsitek membuat bangunan ini sarat makna dan berfungsi lebih.

Pada bagian fasadnya, bangunanmasjid salman merupakan secondary skin yang merupakan tembok dengan lubang-lubang yang dapat menhasilkan pantulan sinar matahari yang masuk melalui sela-sela lubang tersebut kedalam ruangan dan bergerak berubah seiring arah pergerakan matahari. Hal ini mengingatkan keesaan tuhan yang memberikan kita energi yang luar biasa dari matahari dan mengingatkan bahwa waktu terus berputar. Pantulan cahaya tersebutpun memberikan keindahan tersendiri dan menguatkan perasaan yang mendalam ketika kita berkontemplasi didalamnya.

Selain itu bangunan ini memiliki plafon yang tinggi. Hal ini memberikan kesan luas dan megah, namun dengan penggunaan kayu sebagai penutup lantai, dihasilkan suasana yang hangat ketika kita bersujud di dalamnya, bahkan tanpa menggunakan sajadah dan juga memberikan kemudahan dalam maintenance, dimana kebersihan merupakan keharusan ketika beribadah. Seperti dalam islam, Kebersihan adalah sebagian dari iman.

Itulah sedikit keindahan dari masjid salman. Masjid yang unik dan mendobrak tipologi mesjid yang selalu menggunakan kubah. bentuk yang simpel dalam bentuk, komposisi , material. Bangunan mesjid ini menggambarkan filosofi islam yang mengajarkan untuk hidup tidak berlebih-lebihan :) 

Perilaku dan Arsitektur

We shape our building and afterwards our building shape us...

Winston Churcill, 1943

Arsitektur dan perilaku memang sulit dipisahkan. Satu yang pasti setelah saya belajar di asitektur, saya menjadi lebih senang mengamati. Senang memperhatikan gerak gerik terutama perilaku manusia. Kata perilaku sendiri menunjukan manusia dalam aksinya, berkaitan dengan semua aktivitas manusia secara fisik; berupa interaksi manusia dengan sesamanya ataupun dengan lingkungan fisiknya. Di sisi lain, desain arsitektur akan menghasilkan suatu bentuk fisik yang bisa dilihat dan bisa dipegang. Krena itu hasil desain arsitektur dapat menjadi salah satu fasilitator terjadinya perilaku, namun juga bisa menjadi penghalang terjadinya perilaku.

Kebiasaan mental dan sikap perilaku seseorang dipengaruhi oleh lingkungan fisiknya. Drucker (1969) menindikasikan bahwa “sebagian besar yang kita lihat adalah sesuatu yang ingin kita lihat”. Sementara Von Foester (1973) menulis bahwa “ apa yang kita bentuk dalam pikiran, itulah realitas yang kita perhitungkan”. Namun realitas itu tidak selalu seperti yang diinginkan. Apa yang dibayangkan dalam imajinasi arsitek pada proses perancangan mungkin akan menghasilkan akibat yang berbeda pada saat atau setelah proses penempatan/penghunian.

Penandaan lingkungan yang dilakukan arsitek melalui karyanya dapat diintrepretasikan secara berbeda oelh penggunanya. Misalkan penggunaan kaca yang awalnya dimaksudkan untuk memberikan kesan luas atau menyatu dengan luar ruang, mengakibatkan orang-orang terluka karena membenturnya, atau menjadikan perlunya penjaga kaca agar orang tidak salah menabrak. Akibat ini tentu bukan yang diharapkan oleh seorang arsitek.

Rancangan yang dianggap baik oleh perancang, mungkin saja diterima penggunanya sebagai lingkungan yang dingin, membosankan, bahkan tidak ramah. Oleh karena itu diperlukan perpaduan imajinasi dan pertimabngan akal sehat dari arsitek. Setiap kali merancang, arsitek membuat asumsi-asumsi kebutuhan manusia, membuat perkiraan aktivitas dan atau perkiraan bagaimana manusia berperilaku, bagaimana manusia bergerak dalam lingkungannya. Kemudian arsitek memutuskan bagaimana lingkungan tersebut akan dapat melayani manusia pemakai sebaik mungkin. Yang harus dipertimbangkan tidak hanya melayani kebutuhan pemakai secara fungsional, rasional, ekonomis, dan dapat dipertanggungjawabkan, tetapi lingkungan jug aharus dapat mengakomodasi kebutuhan pengguna akan ekspresi emosionalnya termasuk bersosialisasi dengan sesama.

Dengan premis dasar bahwa perancangan arsitektur ditujukan untuk manusia maka untuk mendapatkan perancanganyang baik arsitek perlu mengerti apa yang menjadi kebutuhan manusia. Atau dengan kata lain mengerti perihal perilaku manusia dalam arti luas.

Kesimpulannya Huaahh susah juga ya, mesti jadi psikolog, enginerring, budayawan, dan sosiolog sekaligusss..banyak melihat, mendengar, dan merasakan...huuff.. u can do it Nit!!

tulisan yang pernah saya baca di salahsatu majalah, didedikasikan kepada profesi Arsitek

I will open my eyes to VISION, that may unlock the message in the stone and the clay. Let me sense in the sand and the iron and the tree the mystery beyond all mysterys, The builder beyond all building, with vision MAY I ALWAYS BUILD
*
I will open my mind to HUMILITY, that may remember my debt to those who have taught me, And strive to dischange it to those whom i teach, let me be always aware that my days are short, my work is long, my talent endures not forever, In humility, MAY I ALWAYS BUILD
*
I will open my heart to PATIENCE, that those for whom i plan may not be denied their true answer throught any haste of mine or shallow expediency. As my art grows in the building of human,s shelter, so may heart grow in the building of human’s happiness. Patiently MAY I ALWAYS BUILD
*
I will open my hands to ARTISTRY, that i may skillfully turn points, line and plane to the support and protection of human’s body, to the nourishment of their hope, to preservation of his culture. Let me tools be adroit and ready weapons un their resistance to decay and struggle to be free. With artistry MAY I ALWAYS BUILD
*
Even in the whole world ravage and destroy, MAY I ALWAYS BUILD. Let my work go beyond creed and colour and nation, bridging the world of difference, letting fall to ruin the house of war and enlarging the house of peace. While the breath of great architect is me, MAY I ALWAYS BUILD

maunya apa sih

maunya apa sih malaysia? menyebalkan. merasa superior, padahal sama saja. wajar sih mereka memperlakukan bangsa kita kayak gini, ralat-bukan wajar, tapi sangat mungkin. toh persamaan hak disana tidak berjalan. rasis. dengan 3 ras besar, melayu-china-india, mereka memperlakukan ketiga ras itu dengan berbeda. jatah di universitas, jatah di kantor BUMN, dan perbedaan2 hak lainnya. jadi sulit juga mengharapkan warga kita diperlakukan baik, diperlakukan sama, karena mereka tidak mengenal itu. sering mengobrol dengan orang india yang tinggal disana, dan katanya mereka hanya dapat mendskripsikan malaysia dengan kata 'sucks'. yepp.. dan lucunya mahasiswa disana tidak tau ada pulau bernama sipadan dan ambalad..apalagi permasalahan yang menyangkut pulau2 itu,,kasian. katanya mereka susah mendapat berita tentang politik. ceum mana pulak lah.

proses

rasa-rasanya sudah beberapa kali merasakan seperti ini
yah setidaknya saya pernah merasakannya
mencoba kembali berharap tidak akan merasakannya kembali
dan dimulai

tenang sepi
riang
lalu bergemuruh
ada yang lepas
ada yang hilang
ada yang terserap
ada yang berputar seolah tanpa ujung

dan sayang
untuk kesekian kalinya
ternyata saya merasakan ini kembali
berputar-putar

saya tidak menyesalkan yang lepas
saya tidak menyesalkan yang hilang
dan terserap
terimakasih kuhaturkan
karena diperkenalkan kepada dunia

mungkin baik untuk saya
mungkin baik untuk yang lain
tapi maaf
saya hanya ingin kembali sepi
berubah karena saya ingin berubah
merasakan ketenangan diri
dan sendiri