Hm.. kira - kira awal april atau akhir maret kematin ya? saya agak lupa. tetapi, waktu itu saya diberi kesempatan untuk pergi ke jogja dan menelusuri karya-karya Romo Mangun.
Mungkin beberapa di antara anda sudah tahu Romo Mangun, dan jadi anggota fansnya yang sekarang kira-kira sudah 22 ribu orang. Namun, apakah anda sekalian pernah melihat dan merasakan karyanya secara langsung? Mungkin ada yang sudah dan ada yang belum.
Atau ada yang sekedar ikut-ikutan jadi fansnya, belum tahu.
Sebelumnya, berterimakasih kepada Indra Pramana yang mengenalkan saya (tentu secara tidak langsung) kepada Y.B. Mangunwijaya, ketika itu ia sedang memfotokopi buku Wastu Citra, yang saya bingung.
"Bukan buku arsitektur yah ndra?"
"Yah fotokopi dulu aja deh Jin, bagus kok."
Memang saya salut sama Indra yang memiliki pengetahuan yang luar biasa, namun terkadang produk yang ia keluarkan seringkali sebuah amarah yang luar biasa pula (haahhahahaha. bercanda loh ndra).
Singkat cerita, disitulah saya awal mula mengetahui Y.B. Mangunwijaya, belum mengenal.
Sebenarnya atmosfir yang ditawarkan DI Jogja memang berbeda. Berbeda sekali dengan Jakarta-tempat kelahiran saya, ataupun Bandung-tempat saya sedang menempuh pendidikan ber-arsitektur.
Jogja..
It is not easy to describe a place, unless you give a value to it.
As we know already, a space become a place if you put a value into it.
Jogja itu, mungkin mencerminkan masyarakatnya.
Kalem. Saat itu bagi saya, yang sedang dirundung permasalahan, baik akademik maupun non akademik, bagaikan sebuah asylum.Tenang.
Lantas saya berpikir, mungkin memang di tempat seperti Jogja ini, saya dapat merasakan Arsitektur (wastu citra) yang sesungguhnya.
awalnya, kami semua, yaitu Anexus Philosophus, Mas Umbu, Boti, Binsar snap-snap-snap, dan kokommakantidur, tiba pukul 5 pagi di Jogja. Setelah beristirahat sebentar kami langsung pergi menuju Sendang Sono, sebuah tempat berziarah. Disana mungkin ibaratnya orang pertama kali berkenalan, kita butuh proses mencerna. Saya sendiri belum bisa berpendapat apa-apa, selain arsitektur yang dirasakan adalah suatu ruang-ruang yang menawarkan keheningan dan pencerahan berfikir dan juga ada bentukan-bentukan pemecah keheningan, dikala keheningan itu menjadi bising.
Selanjutnya, kami pergi ke Gereja Salam, Maria Assumpta, aduh sampe lupa. ada 5 atau 6 yah nex? saya agak lupa. bukan berarti karyanya fogettable, tapi memang saya seorang pelupa, lebih tepatnya.
Ketika berkunjung ke Gereja Maria Assumpta di Klaten, Oh iya, disana Job desc saya adalah seorang supir, jadinya, yah kalo lupa-lupa yah karena saya mengantuk.Jogja-klaten. Jogja-mana. Jogja - mana, dan seluruh penumpang tidur. Jadi agak ikut merasakan perasaan mas-mas jasa travel Bandung-Jakarta.
Di gereja itu sedang melaksanakan Minggu Palem. suatu pra acara menyambut kebangkitan Yesus Kristus. Disana, mba kokom dan mba Bothie agaknya canggung untuk ikut masuk dan merayakan. sayapun sebenarnya lapar dan hendak mencari makan.
Kitapun akhirnya naik becak, dan pergi ke alun-alun kota. Makan Soto hanya 3ribu rupiah semangkuk. wah dimanalagi. tadinya mau makan KFC - Klaten Fried Chicken. ada lho! beneran! sungguhan!
Itu selingan aja.
Gereja Maria Assumpta ini terinspirasi dari Ron Champ-nya Corbu. maka bukaan-bukaan yang mendapatkan sinar, yang agaknya terkomposisi secara abstrak (saya yakin ada makna dibalik irama bukaan tersebut), terinspirasi dari sana.
yang paling membekas bagi saya adalah perjalanan terakhir. Perjalanan terkhir adalah Kuwera, yang notabene adalah rumah dari Y.B. Mangunwijaya. Disana saya dikenalkan dengan Mba Dini, selaku asisten paling terakhir dari Y.B. Mangunwijaya. Disana kami berdiskusi, mencoba mngenal Y.B. Mangunwijaya dari perspektif orang lain. Lalu kitapun melihat - lihat rumahnya. Buat saya, rumah itu luar biasa. Saya terenyuh. Y.B. Mangunwijaya memiliki perpustakaan sendiri, dimana sudah terdapat pembagian seperti, bidang sosial, politik, budaya,agama, sastra, seni, dan arsitektur dan banyak lagi.
Perlu anda ketahui, Y.B. Mangunwijaya bukanlah seorang spesialis. Ia adalah seorang Generalis. silahkan selami sendriri maknanya.
Disana saya merasakan program ruang yang ber-irama, program ruang yang bergerak dengan dinamis dimana Y.B. Mangunwijaya melakukan penerapan leveling yang berbeda. Jadi tidak hanya sekedar rumah 2 tingkat. Tetapi seperti rumah bertingkat-tingkat, karena ada kualitas ruang yang berbeda. Ada ruang yang dalam event tertentu dapat beralih fungsi menjadi ruang beribadah. Yaitu ruang makan, dan tetap ada mimbar, dimana Y.B. Mangunwijaya sebagai seorang Pastur, dapat menginjil.
Wah, anda harus kesana sendiri. Karena bagi saya yang dalam kapasitas mahasiswa, kosa kata yang dapat saya jabarkan untuk menjelaskan sepertinya masih terbatas.
Pernah saya bebagi pengalaman akan hal ini kepada teman saya, dan seorang lulusan Unpar. Ketika saya bercerita, entah mengapa lulusan ini langsung berpendapat.
" Wah ngapain bikin bangunan gitu, itu cost-nya dan blablablablabla" Wah tentu saya kecewa. Mengapa lulusan ini dapat berpikir sperti itu ya? Maksud saya langsung berpikir untung-rugi. Mengapa ia, sebagai lulusan arsitektur, tidak berbicara lebih secara arsitektural. Dalam artian, kualitas ruang yang ada. Atau misalnya fungsi nya sebagai rumah dan pada konteks seorang Y.B. Mangunwijaya.
kita tinggalkan saja pembicaraan tersebut.
Sebenarnya apa yang saya dapat itu begitu banyak, namun susah untuk diungkapkan.
Yang saya paling ingat adalah ketika Mba Dini mengatakan :
" Y.B. Mangunwijaya itu sangat percaya akan proses. Seperti misalnya kita di proses oleh lingkungan sekitar. Lantas sebagai manusia, jangan hanya mau menerima proses apa yang diberikan oleh lingkungan, namun apa yang dapat kita berikan juga kepada lingkungan kita? Disanalah ada proses. Manusia itu hidup dengan proses. Ada suatu diagram, dimana menunjukkan hubungan segitiga, yaitu antara kita dengan Allah Pencipta, dan dengan sesama ciptaan Nya, termasuk lingkungan. Romo percaya itu. Hal itu ditunjukkan melalui detil-detil yang sangat cantik. Mungkin kita berpikir, bahwa sulit sekali untuk perawatannya, untuk maintenance dsb, tetapi, kita jangan menyukai rumah kita kalau sedang bagus saja, ketika kita (seandainya memiliki rumah beribu detail seperti Romo Mangun) sedang merawat dan membersihkan detil-detil itu, Romo percaya bahwa disitulah kita berproses, dan bertumbuh untuk mencintai rumah kita (ataupun wastu citra)"
Jawaban itu langsung mengena. Langsung terenyuh.
Banyak kesan yang saya dapat. dan melalui perjalanan seperti inilah, saya semakin menyadari bahwa profesi yang akan saya geluti ini, menyentuh banyak aspek. Perlu anda sadari kapasitas seorang arsitek. Sejauh mana sebuah karya arsitektur menyentuh kehidupan orang banyak.
Semua itu menimbulkan pertanyaan di dalam diri saya, dan mungkin untuk anda sekalian juga. Saya mau jadi arsitek yang bagaimana? Dan kalau saya, setelah lulus, apakah saya mau menjadi arsitek? haha.
Silahkan anda masing-masing menjawab.
Terimakasih sudah menyempatkan diri membaca tulisan ini, mohon maaf bila ada kata-kata yang salah . Sukses menjalani hidup. AMin.
thx Eugene tehupuring untuk tulisan di atas, menginspirasi :)
0 komentar:
Posting Komentar