We cast away priceless time in dreams, born of imagination, fed upon illusion, and put to death by reality. - Judy Garland

Dunia sekitar tampak begitu nyata. Untuk mengatakan bahwa itu hanyalaha ilusi rasanya seperti omong kosong. Jika dunia adalah ilusi, lalu saya apa? . Saya percaya tubuh adalah mesin yang luar biasa. Terdiri dari kombinasi bahan, tetapi berfungsi sebagai unit. Apakah saya adalah tubuh? Apakah saya adalah rambut yang dipotong si salon? Apakah saya adalah tangan, kaki atau kepala?. Tubuh berubah selama bertahun-tahun. Apakah saya adalah bentuk berubah?

Banyak pikiran melewati setiap hari. Mereka seperti film yang diputar di depan mata. Pikiran saya sejam yang lalu, pikiran saya kemarin,  bagaimana pikiran-pikiran ini menjadi nyata jika selalu datang dan pergi. Saya berpikir mereka, tetapi apakah saya mereka?

Bagaimana dengan perasaan. Marah, sedih, senang. Ataukah saya membiarkan perasaan-perasaan itu untuk menduduki kesadaran saya untuk sementara waktu? Seperti pikiran, perasaan dan emosi melalui saya, mereka datang dan mereka pergi. Bisakah saya disebut sebagai perasaan saya yang selalu berubah.

Siapa saya sebenarnya. Mungkin saya harus membawa ke kesadaran di luar pikiran seperti banyak dipraktekan tradisi spiritual yang mengatakan bahwa saya adalah bagian tak terpisahkan dari kesadaran, kekal impersonal yang menciptakan dunia dan diresapi kesemuanya, kongmelarasi tubuh, perasaan dan pikiran yang disebut ‘saya’.

Lalu bisakah saya mengatakan bahwa saya adalah produk sejarah dan pengalaman saya, proses tubuh, pikiran, dan perasaan yang telah saya ciptakan dan lalui sendiri?Apakah saya adalah masa lalu?  Lalu bagaimana dengan masa depan? Toh pikiran dan perasaan tidak terlepas dari proses-proses yang telah dilewati, juga kombinasi dari harapan-harapan akan masa depan. Pikiran melampaui masanya.Ataukah saya adalah saat ini, momen ini? Yang merupakan kombinasi sejarah dan masa depan?

Berangkat dari itu, kembali ke kalimat pertama saya mengenai dunia yang tampak nyata dan ilusi hanyalah omong kosong menjadi tidak relevan. Masa depan adalah ilusi. Saya pada momen ini tidak terlepas dari pikiran masa depan yang  terproses bersama dengan memori-memori pengalaman masa lalu yang merupakan hasil dari proses pikiran masa depan pada masa lalu.

Sekarang saya jadi beripikir jika seseorang berlaku jahat kepada saya. Apakah seseorang itu benar- benar jahat ataukah dunia yang saya ciptakan membuat seseorang itu tampak seperti jahat. Seseorang pernah mengatakan bahwa sebenarnya semua hal di dunia ini bersifat netral, karena semua hanyalah proses dan bukan hasil. ‘kamu’, ‘saya’lah yang memberinya nilai pada momen tertentu.

Dunia saya adalah ilusi dan imajinasi saya.  Justifikasi saya.

Menggenggam Diri



Garis-garis berwarna dilayar tampak membuyar. Mata sedang tidak bersahabat. Berkali-kali tangan menutupi mulut yang menguap, dan segelas kopi tetap tidak mampu melawan kantuk. Saya ubah posisi duduk. Kaki kiri menggantikan kaki kanan untuk naik dan dilipat diatas kursi. Posisi ini memang posisi kesukaan saya, menaikan satu kaki setengah bersila, dan membiarkan yang lain tetap menjejak tanah, nyaman.

Sejenak tersadar, ruangan kantor terasa semakin gelap semanjak hadirnya kantor baru didepan, menutupi pandangan menuju ruang hijau diseberang sana. Melihat sekeliling-beberapa tumpukan kertas, tempelan list di dinding, dan tiga orang teman kantor yang sedang tenggelam dalam dunianya masing-masing di balik layar monitor. Sudah tidak tahan lagi, bergegas keluar mencari angin segar.

Tidak jauh berjalan, saya mendapati diri dipinggir tebing. Riak ombak cukup besar kali ini. Dorongan yang kuat dari bawah tebing yang saya pijak menghasilkan suara geraman yang menghamburkan kembali sekumpulan air yang mendesaknya dan berakhir dengan buih-buih halus. Mata saya terus tertuju pada riakan air dibawah sana. sangat menarik, menghasilkan gerakan dinamis yang tak pernah sama.

Tangan mengambil kerikil untuk dilempar kebawah. Melempar beberapa diantaranya dan berharap kerikil tersebut dapat membuyarkan formasi masif sang air. Minggu yang sangat melelahkan. Saya berjalan ke hamparan rumput dibelakang dan berbaring.
Surya begitu panas menyorot, refleks tangan kiri menutup mata. Sekilas hadir satu persatu hal yang membuat saya begitu lelah minggu ini. Hal yang membuat saya sulit untuk memejamkan mata di minggu, bahkan di satu tahun terakhir. Sungguh aneh, betapa tidak saya dikenal sebagai orang yang ‘duk sek’. Sejenak menempel di bantal kemudian terlelap. Suara ombak memecah karang masih terdengar sangat jelas, namun terasa seperti petikan sitar kali ini. Menidurkan.

Panas semakin terasa di wajah yang semakin lama semakin menggelap. Saya raba rumput dibawah. Setengah sadar mencari ponsel di saku dan mendapati diri tertidur sudah hampir 2 jam lamanya. Chop chop! Saya bergegas menuju kantor.

Istirahat. Mungkin itulah yang dibutuhkan. Terus berlari-dan berlari memadatkan aktivitas menekan diri untuk terus bergerak sehingga tidak banyak berpikir, jeda mengolah rasa dan berakhir dengan rasa asing pada diri sendiri.

Istirahat, mungkin itulah yang dibutuhkan. Pasrahkan diri, biarkan air dan angin memberi isyaratnya, dan biarkan tubuh menerimanya, bergerak beriringan menemukan kedinamisan bersama. Bebaskan saja, lepaskan saja, pasrahkan saja. Seperti arus dalam laut. Setiap yang hidup akan mati, benih akan tumbuh dan kemudian akan mati. Kekuatan yang saling berhubungan dan berlawanan akan saling membangun satu sama lain, mereka tidak hanya sekedar menggantikan, namun bersatu sama lain melalui aliran konstan alam semesta. Genggam diri dan biarkan diri menemukan keseimbangannya. Yin Yang.

?!

Sebuah spasi memberi kesempatan untuk menghela nafas dan jarak yang terbentuk memberi makna pada ruang diantaranya. Ntah bagaimana dan kapan akhir dari kalimat ini. Saya terhimpit pada tanda-tanda baca tanpa dapat mengurai kata.