Kota Metropolitan


Jakarta-jakarta.. selama ini saya hanya mendengar tentang kamu dari teman-teman dan media. Tanpa sadar saya menangis ketika membaca ini dan disini versi terjemahannya 

Dulu waktu saya masih kuliah saya sempat menulis impian saya begini:

Di umur 30 tahun saya ingin menjadi arsitek dan ibu rumah tangga muda yang memiliki anak lucu dan tidak takut mengenai apa yang ditonton mereka di TV. Saya menemani anak saya yang tumbuh jadi anak yang sehat bermain di taman kota. Dengan perencanaan dan pembangunan kota yang sangat diperhatikan oleh walikota yang saat itu adalah seorang arsitek kakak senior saya;p, udara berangsur membaik, kadar timbal berkurang, Ruang terbuka hijau yang tersisa dijaga dengan baik, dan ruang2 terbuka publik yang merupakan suatu instrumen untuk mengurangi kesenjangan sosial yang ada banyak dibangun (ps: ruang publik bukan mall lho..tapi ruang dimana jarak perbedaan ruang sosial yang ada terkikis. Misal taman kota dimana orang yang berlaptop dapat duduk bersebelahan dengan tuna wisma). 

Di umur 40 tahun saya mengantar anak saya ke sekolah menggunakan trem kota. Dengan walikota yang telah memimpin 10 tahun saat itu, kota kami berkembang menjadi kota kompak dengan pemusatan pusat keramaian dan pemukiman yang terencana termasuk pemukiman menengah kebawah yang terintegrasi dengan pola transportasi massal yang baik. Sehingga orang2 mulai meninggalkan kendaraan pribadi dalam kota layaknya di tokyo. Dan warga negara kita tidak harus membuang2 energi percuma, baik tenaga, bensin, dan waktu.

Di umur 50 tahun, saya bersama teman2 satu geng yang seprofesi..hehe..telah menyumbang pembangunan rumah2 susun untuk masyarakat terutama kawasan pemulung. Saat itu saya melihat seorang presiden melakukan pidato terbuka di depan gedung merdeka yang pada masa itu telah disulap menjadi ruang terbuka publik (layaknya washington mall) sehingga pada masa itu masyarakat dengan mudah menyampaikan opini dan harapan terhadap kepala negara di negara Indonesia yang menjunjung demokrasi, ga ada cerita lagi demo yang anarkis. Presiden berpidato dgn disambut dukungan rakyatnya yang telah melihat bagaimana demokrasi, persamaan hak, dan kemandirian bangsa baik energi, ekonomi, dan pangan dijunjung dan menjadi fokus utama pada pemerintahannya. Pada masa ini udah ga jaman lagi korup. KPK jadi instansi bersih yg paling ditakuti,,huuuoooo...itu impian..

mmmhh..yah, impian..Impian ini ga mungkin terwujud kalo kita berjalan sendiri2..jadi saya membutuhkan bantuan kalian semuaaaaaaaaa....yang saya yakin memiliki mimpi besar dan harapan besar.

-------------------

Hhmm membangun kota sepertinya memang tidak mudah ya, kompleks sekali dengan banyak variabel dan bermacam-macam karakter yang masing-masing memiliki keinginan masing-masing, kepentingan masing-masing, untuk masa depan masing-masing. Ya masing-masing, terlebih dari tidak adanya ruang-ruang publik yang disediakan dan kategorisasi ini menjadi semakin menguat, memisahkan diri dari yang satu ke yang lain.

Saya lahir dan dibesarkan di Bandung lalu sekarang tinggal di pulau kecil-kampung. Saya belum pernah merasakan tinggal di kota metropolitan seperti Jakarta jadi saya tidak pernah benar-benar merasakan bagaimana rasanya tinggal di tempat seperti itu, semoga beberapa bulan kedepan saya mendapat kesempatan itu. Melihat dan merasakannya sendiri.

Beberapa hari di Jakarta kemarin saya merasakan hal yang sama ketika di Paris. Muka-muka lelah dan sibuk ketika pergi atau perjalanan pulang dari kantor. Orang-orang bergegas mengejar busway. Teman saya bercerita jika jadwal busway tidak menentu, sehingga orang harus berlari kalau tidak ntah kapan dapat busway berikutnya. Di Paris, jadwal metro pasti, dan berselang hanya beberapa menit dari satu kloter ke kloter berikutnya namun tetap saja orang-orang bukan hanya bergegas, tapi berlari. Sampai-sampai saya tanya ke teman saya kenapa orang-orang pada berlari seperti kesetanan, dan dia jawab mengejar metro, lalu saya tanya kapan metro berikutnya dan dia jawab 3-5 menit lagi. Sigh.

Orang-orang keluar masuk metro dan tampak sangat modis, kebetulan saat itu winter. Boots, scarf, dan coat membuat semua orang tampak seperti model. Yang saya perhatikan ntah kenapa pada saat itu banyak sekali yang menggunakan setelan berwarna hitam-hitam, mungkin hanya kebetulan. Di metro semua orang diam dan sibuk dengan lamunannya masing-masing. Satu anak muda di depan saya membuat sketsa dan teman disebelahnya sibuk dengan ipod-nya. Tiap orang menyiratkan tatapan dingin. Inilah parisian pikir saya dalam hati, sebutan bagi orang-orang dari paris. Teman-teman saya dari prancis mengatakan kalau Parisian itu dikenal songong dan belagu ketika berbicara dengan orang prancis dari kota lain. Mungkin ini agak mirip dengan pandangan orang luar Jakarta ke orang Jakarta ketika pertamakali bertemu sebelum mengenal jauh. Seorang pengamen masuk lalu memainkan biola sehingga membuyarkan lamunan saya. Saya melongok, dia tampak sangat bugar dengan setelan olahraga adidas. Alunan musik jazz yang dia mainkan sangat indah, dia tersenyum ke arah saya ketika sadar saya memperhatikannya dengan seksama.

Di sepanjang jembatan penyebrangan di Jakarta menuju stasiun busway tampak beberapa pengemis duduk dengan wajah menyiratkan harapan atas kepeduliaan orang yang lewat terhadap kondisinya. Begitu pula stasiun-stasiun di Paris, saya menemukan banyak pengemis disana. Suatu kali saya mendapati seorang wanita muda berusia sekitar 25 tahun duduk di tangga stasiun dengan membawa kertas yang bertuliskan dalam bahasa prancis yang artinya “saya lapar. 1 euro anda akan sangat berarti untuk saya”. Saya cukup kaget, selama ini saya seringkali melihat pengemis di Indonesia namun tidak pernah melihat wanita muda yang nampak biasa saja (tanpa terlihat kucel atau lusuh sehingga membuat orang simpatik) duduk meminta. Benar-benar pemandangan yang sangat janggal buat saya.

Namun yang berbeda adalah di Paris banyak sekali ruang-ruang publik seperti taman-taman kota. Di hampir setiap distrik terdapat masing-masing taman kota cantik yang dipenuhi orang-orang. Di tempat ini tua muda, semua membaur. Di sepanjang kanal dimana sungai menjadi waterfront (bukan menjadi area belakang seperti di Indonesia sehingga malah jadi tempat pembuangan), banyak sekali pasangan yang bergandengan. Tidak heran kota ini disebut kota romantis, ntah bagaimana arsitektur bangunan, lampu-lampu jalan, kanal, semuanya menyiratkan keindahan dan harus saya akui memang romantis. Sepasang kakek nenek duduk berpelukan di taman sembari melihat kearah sungai. Pandangan-pandangan dingin ketika di metro seketika lenyap. Orang-orang tersenyum ke arah saya dan melanjutkan aktivitas masing-masing tanpa merasa terganggu. Skala kota Paris cukup besar. Bangunan-bangunan tinggi menjulang dan jarak dari satu lokasi ke lokasi lain cukup jauh. Namun dengan sistem metro yang baik, signage yang jelas, dan pedestrian yang baik, saya tidak merasakan rasa intimidasi seperti yang saya rasakan di Jakarta yang ketika turun dari trem dan hendak mencapai bangunan tertentu, saya harus berjalan melipir dan berhati-hati, naik turun pedestrian yang tidak terkoneksi dengan baik – mengurangi keasikan dalam menikmati kota itu sendiri.

Lalu saya mengunjungi toko loak yang ada di sepanjang sungai (lupa namanya), mengingatkan saya di salah satu adegan midnight in Paris dengan setting yang sama. Saya asik melihat-lihat buku dan lukisan jalanan disana sampai saya teringat akan pasar loak di Cikapundung. Tempat buku-buku dan majalah bekas, tukang kunci serep dengan kios-kios di sepanjang sungai cikapundung. Paris van Java. Ada miripnya walaupun beda banget hehe..

Lain halnya dengan Amsterdam. Saya waktu itu menaiki bus menuju Amsterdam dari Paris. Pas setengah tertidur karena menggunakan bis malam saya mendengar beberapa orang berbicara bahasa Indonesia, ahahah ternyata di bis itu banyak orang Indonesianya, setelah saya perhatikan ternyata sepertiganya orang Indonesia. Menarik banget, saya sempat mengobrol tapi rasa lelah dan kantuk membuat saya tidak sempat mengobrol banyak dengan mereka. Kota ini menjadi kota favorit saya. Kota dimana saya datang dalam cuaca 3 derajat dan diguyur hujan selama beberapa hari disana. Namun saya benar-benar menikmatinya! Ntah bagaimana kota ini memberi spirit tersendiri. Selama beberapa hari disana saya berjalan, bersepeda, melihat penjuru kota pagi-siang-malam, dinginnya winter menjadi tidak terasa lagi, saya sungguh menikmati kota ini!

Lalu lintas di kota ini sangat gila. metro, bus, mobil, motor dan sepeda saling memotong, terutama pengendara sepeda-sepeda yang ternyata sangat liar. Namun yang saya lihat orang-orang disana nampak sangat bahagia, kotanya sangat hidup! Skala kota Amsterdam yang kecil cukup untuk membawa sepeda berkeliling. Tampak segerombolan anak muda dengan sepedanya sambil ketawa kegirangan padahal lagi hujan atau beberapa keluarga yang bermain di taman kota, atau seorang ibu hendak menyebrang membawa kereta bayi yang pake penutup dibawah hujan rintik cukup untuk membuat saya ikut tersenyum, bagaimana tidak kalau di Indonesia lagi hujan kaya begitu, ditambah dinginnya winter, pasti anak-anak disuruh masuk rumah biar ga sakit. Kalau perlu keluar apalagi membawa anak kecil sebisa mungkin bawa kendaraan sendiri. Tapi ini enggak, semua terlihat sangat menikmati kotanya. Mereka saling tersenyum dan sangat welcome.  

Ada kejadian lucu lagi soal orang Indonesia, ketika saya berjalan tiba-tiba terdengar teriakan..”satu..dua..tiga..” glek ternyata beberapa orang Indonesia sedang berfoto. Begitu ramainya ruang luar di kota ini. Tiap sudut kota diisi orang-orang yang berjalan, bersepeda, bermain skate-board, nongkrong, berjualan, mengamen, berfoto. Aaahh saya benar-benar jatuh cinta dengan kota ini, semua terasa sangat kasual dan humanis tidak kaku seperti di Paris. Setiap kali bertanya atau mengobrol dengan seseorang baik sekadar saling menyapa di cafe atau di tempat pelayanan publik, saya selalu mendapati orang-orang ramah dan antusias. Kym teman kantor saya pernah bercerita kalau Belanda terutama Amsterdam adalah kota yang sangat bebas, intinya mau melakukan apa aja boleh asal tidak melanggar kebebasan orang lain, tidak heran misal homoseksual atau konsumsi ganja dibebaskan di sini, dan somehow orang-orang disana free spirited. 

Setelah Amsterdam, kota besar yang saya datangi juga adalah Barcelona. Mirip-mirip seperti di Paris dengan skala kota yang luas dan jarak dari satu lokasi ke lokasi lain jauh, namun yang berbeda orang-orangnya lebih ekspresif. Selain ekspresif juga agak sedikit kasar. Pengalaman beberapa kali di tempat pelayanan publik, mereka nampak tidak seramah di Amsterdam, tapi tidak kaku seperti di Paris. Teman saya dari Barcelona yang menjadi tour guide saya saat itu bercerita bahwa orang Catalan seperti di Barcelona ini memang berbeda dari kota di Spanyol lain, selain bahasanya memang agak berbeda mereka juga agak sedikit kasar. Suatu kali saya mengunjungi bar kecil disana, yang menjaga adalah sepasang suami istri. Selama saya disana tak hentinya mereka bertengkar dengan kencang sampe seantero bar bisa mendengarnya, saya tidak yakin apakah itu memang bertengkar ataukah memang begitu cara mereka berkomunikasi karena pengunjung lain nampak biasa saja. Tak sampai disana, beberapa orang seumuran kakek saya masuk dan memesan bir. Cukup lama setelah itu tiba-tiba mereka mulai menyanyi seriosa bersama kenceng banget. Semua orang tertawa dan memberi salam dengan gelasnya. Cheers atau salut! Orang-orang berteriak dan ikut bernyanyi.

Setelah keluar dari bar saya berjalan di plaza catalunya, sekelompok pengamen mulai memainkan musik. Orang-orang mulai mengelilinginya. Beberapa orang ikut menari ketika lewat, beberapa menari di atas tangga, dan yang paling membuat saya terkesan adalah ada dua orang tunawisma tampak berdiri dari tempatnya duduk dan ikut menari, kejadian itu berlangsung terus sampai beberapa lagu yang pengamen itu mainkan berhenti. Menarik. Begitu mudahnya ruang-ruang komunikasi itu terbuka bagi orang yang bahkan tidak saling mengenal. Bahkan tidak perlu dengan kata. Hanya dengan musik dan semua seperti terlepas dari jarak dan kekakuan. Saya tidak perlu mengenal mereka siapa, darimana, namun kita berbaur bersama secara alamiah. Inilah ruang publik saya pikir. Melepaskan latar belakang dan status sosial, dan hanya berbagi tempat dan waktu. Berbagi momen. Tanpa perlu ada event organizer atau acara khusus.

Orang bilang kalau orang Indonesia adalah masyarakat yang ramah, yang berbudaya gotong royong. Saya tidak menyangsikan itu, sayangnya bentukan kota-kota yang ada tidak memfasilitasi potensi itu, bahkan yang ada adalah membuat jarak satu dan yang lain semakin melebar. Perbedaan status sosial semakin ditunjukan. Namun seperti sebuah prase 'Knowing is half the battle'. Setidaknya sekarang mulai banyak orang-orang yang mengerti dan mau peduli. Orang-orang yang tau masalah dan mau menyelesaikan, dan masyarakat yang mau turut berkontribusi.

Seperti impian yang saya tulis dulu “Saya menemani anak saya yang tumbuh jadi anak yang sehat bermain di taman kota. Dengan perencanaan dan pembangunan kota yang sangat diperhatikan oleh walikota yang saat itu adalah seorang arsitek kakak senior saya;p, udara berangsur membaik, kadar timbal berkurang, Ruang terbuka hijau yang tersisa dijaga dengan baik, dan ruang2 terbuka publik yang merupakan suatu instrumen untuk mengurangi kesenjangan sosial yang ada banyak dibangun”.

Solusi bagi suatu kota memang tidak bisa sama dengan solusi di kota lain karena ini sangat kontekstual. Sifat/karakter dan kebutuhan warga maupun geografisnya pun berbeda, namun saya tetap meyakini ruang-ruang publik adalah suatu keharusan. Nanti-nanti kalau mau janjian dengan teman di Jakarta tidak perlu di mall lagi. Pak Emil yang sekarang baru terpilih menjadi walikota Bandung sekaligus arsitek senior saya menjadi salah satu harapan untuk mewujudkan ini di Bandung dan semoga berefek ke seluruh kota di Indonesia. Dia tidak bisa bekerja tanpa dukungan partisipatif masyarakat. Ini mimpi besar yang harus didukung bersama. Bukan hanya buat kita, tapi anak cucu kita mendatang. Ini dimulai dengan pertanyaan ke diri masing-masing termasuk saya “ apa yang bisa saya perbuat?”

Pak Suhono


Beberapa hari di Jakarta membuat saya senang bukan kepalang. Pertamakalinya di Jakarta dan sendirian. Yay!! Sebenarnya ga sendiri-sendiri amat karena sendirinya cuman bentar, tapi setidaknya nyobain naik taksi sendiri, nyari gedung sendiri, dan naik busway sendiri, kemajuan bukan? :P

Ternyata ongkos taksi di Jakarta lumayan merogoh kocek juga, kebayang banget kalau kejebak macet. huaduh. Tapi seneng kemarin sempat mengobrol sama supir taksinya. Dia dari brebes. Merantau ke Jakarta pas masih bujang. Ga ada rumah, ga ada keluarga. Selama 1.5 tahun tidur di emper toko, pindah-pindah tempat sampai suatu waktu dia kenal banyak orang di pasar dan kerja serabutan jadi kuli panggul barang-barang di pasar.

Pas saya bilang saya dari bandung dia langsung jawab, “oh kumaha damang, neng?” haha kaget juga dia bilang orang-orang di pasar ternyata banyaknya dari sunda, jadi dia bisa bahasa sunda. Saya pikir selama ini banyaknya dari sumatera. Dia mengkoreksi ternyata mayoritas di pasar adalah orang sunda, sedangkan orang sumatera mayoritas supir angkot. Baiklah..baru tau pak :p

Dari perkenalannya dengan orang-orang di pasar dia jadi kenal banyak supir mobil pick up. Singkat cerita dia penasaran gimana caranya menyetir mobil dan nanya-nanya ke supir-supir itu. Mereka bilang kalau nyetir mobil sama aja dengan motor manual, cuman bedanya motor pake kaki, sedangkan mobil pake tangan untuk gantinya. Mereka mengajarkan gimana teorinya.

Didorong keinginan kuat untuk belajar dan penasaran, dia curi-curi mempraktekan nyetir mobil kalau malam-malam pas si supir-supirnya lagi tidur-cuman disekitaran parkiran. Sampai suatu ketika dia menabrakan mobilnya ke tiang. Kasus. Untung dia hanya dimintai ganti rugi tapi mereka tetap berteman, bahkan dia dikasih pinjam dan diajarin praktek menyetir besok-besoknya. Nice.

Bermodalkan nekat dan kemampuan menyetir akhirnya dia menjadi supir pick up selama 8 tahun dari satu pasar ke pasar lain, sampai keinginan berkeluarga dan dirasa gajinya tidak cukup sehingga memutuskan untuk jadi supir angkot. Dari pengalamannya bergaul dengan supir-supir angkot yang mayoritas dari sumatera dia bilang dia belajar untuk hidup keras. Mencoba survive bertarung di jalanan Jakarta.

Terakhir, dia melihat peluang lebih baik dengan menjadi supir taksi. Akhirnya dia memberanikan diri untuk mendaftar jadi supir taksi. Ketika saya tanya sulit atau tidak ketika rekruitmen, dia bilang gampang-gampang susah karena selain dites menyetir, dia diharuskan menghapal tempat-tempat seperti hotel, mall, dan gedung-gedung perkantoran.

“boro-boro mbak saya hapal dimana itu hotel mulia, saya bilang ke mereka ko tidak ada pertanyaan pasar-pasar di Jakarta, saya bisa jawab hapal diluar kepala, eh mereka bilang kalo yang nanti saya supirin adalah orang-orang yang cantik dan ganteng, wangi pula, sedikit dari mereka yang akan mencari pasar” , terangnya sambil nyengir.

Begitu cerita si bapak supir taksi mengenai pengalamannya di Jakarta secara singkat saat perjalanan saya dari Bintaro menuju Kuningan. Dia bilang sekarang dia cukup puas dengan apa yang telah dia dapat. Gajinya dirasa cukup untuk bertahan di Jakarta, dari komisi yang didapat, beliau mendapat +/- 4 juta setiap bulannya. Anaknya yang sulung sedang menyelesaikan skripsi S1nya dan dia mengatakan tidak sabar untuk hadir di wisudanya :) 

Sebelum saya turun dia bilang semoga saya bisa survive di Jakarta dan berpesan untuk jangan pernah menyerah dengan kerasnya Jakarta. Saya hanya bisa tersenyum dan berterimakasih. Lalu saya meminta nomor ponselnya kalau-kalau suatu saat perlu taksi dan dia mengatakan jika saya menelepon dia akan memperioritaskan saya. Hehe.. makasih loh Pak Suhono.. Selamat menyetir, titi dj pak!

Paradoks Dalam Pilihan


Saya selama ini selalu berpikir kalo saya diberi pilihan tentu akan membuat saya lebih bahagia daripada saya disodori satu pilihan saja seperti yang saya tulis sebelumnya. Dengan memiliki pilihan kita dapat memilih mana yang lebih sesuai, mana yang lebih membuat saya nyaman, mana yang benar-benar saya inginkan.

Namun sebenarnya apa sih kebahagiaan itu?. Ternyata mungkin yang terjadi justru sebaliknya, dengan memiliki pilihan kita berada di titik dimana kita harus menilai, mengukur, membandingkan, dan justru yang paling sulit adalah pada akhirnya memilih itu sendiri. Kenapa? Karena dengan adanya pilihan, akan lahir ruang-ruang untuk keraguan, ruang-ruang penasaran, ruang-ruang untuk penyesalan atas pilihan yang diambil. Dan ruang-ruang tersebut bisa merenggut kebahagiaan. Terlepas dari nyata-tidaknya keraguan kita tersebut.

Hal ini mengingatkan saya pada penelitian David G. Myers dan Robert E. Lane dari Yale. Dalam melihat data pasar, keduanya menemukan bahwa meskipun produk domestik bruto meningkat dua kali lipat di Amerika Serikat selama periode 30-tahun, proporsi penduduk menggambarkan diri mereka sebagai "very happy" telah menurun sekitar 5 persen. Ini tidak terdengar seperti perubahan besar, namun penerjemahan menunjukkan signifikansi: ketika diberi pilihan yang lebih dalam hidup, 14 juta orang Amerika dilaporkan merasa kurang bahagia dibandingkan rekan-rekan mereka 30 tahun sebelumnya. Dan ini menarik mengingat saya pernah baca Indonesia dari Happy planet index bahwa Indonesia berada di peringkat 14 sebagai negara dengan penduduk yang bahagia setelah negara-negara amerika selatan. Sebagai perbandingan, amerika berada di urutan ke105.

Misalkan ada orang pertama diberi pilihan untuk memilih jeruk dan pisang pada saat haus kepanasan. Harus memilih. Dia mempertimbangkan bahwa jeruk akan lebih segar dilidah pada saat haus tersebut. Pas dicoba ternyata asamnya bukan main dan membuat perut melilit. Timbul penyesalan kenapa tidak memilih pisang saja. Lalu ada orang kedua yang harus mengambil jeruk, tidak ada pilihan lain. Rasanya asam dan perut melilit, namun mungkin tidak semenyesal orang yang pertama. Karena dia berpikir tidak ada pilihan lain dan memang sudah seharusnya begitu. Ini merupakan efek psikologis yang ditimbulkan dari kepuasan akan apa yang didapat. Yang pertama merasa telah salah memilih sedangkan yang kedua merasa ditakdirkan-bukan salahnya. Walaupun mungkin pada kenyataannya si pisang sebenarnya rasanya sepat atau bahkan mungkin beracun. Dan efek psikologis inilah yang memainkan ‘rasa’ bahagia. Suka atau tidak suka, si A memiliki kecendrungan untuk tidak bahagia daripada si B. Si A cemas ketika memilih dan mempertanyakan kembali pilihannya setelah memilih. Sedangkan si B hanya mengambil bagiannya, apa yang ada dihadapannya.

Hal ini menjadi masuk akal bahwa ibu-ibu biasanya senang ketika membeli sesuatu yang lagi diskon, terlepas dari memang membutuhkannya atau tidak, benar-benar senang atau hanya kepuasan semu atas pilihan yang disodorkan memang beda-beda tipis. 

Ada pilihan-pilihan yang dihadapkan pada kita yang membuat kita cemas terutama bahwa pilihan-pilihan tersebut memiliki kelebihan dan kekuranganya masing-masing. Ketika memilih A saya akan senang karena blabla, tapi saya takut nanti blabla. Tapi kalau memilih B saya senang juga karena blabla tapi saya takut nantinya blabla. Kecemasan, ketakutan, ketidakrelaan untuk kehilangan. Sebut saja semua jalan yang mengarah pada keraguan.

Lalu kembali ke pertanyaan awal, jadi sebenarnya kebahagiaan itu apa? Jika adanya pilihan membuat saya tidak bahagia haruskah saya menutupi semua jalan akan pilihan yang terbuka untuk saya? Teman saya mungkin akan mengatakan apa yang saya lakukan adalah ‘menggalau’ atau yang lain menyarankan ‘yang pasti-pasti aja deh’. Tapi apa mau dikata kalau saya yakin bahwa cemas, takut, ragu hanyalah sebuah proses dan memilih adalah bentuk pendewasaan, maka hasil, tanggung jawab, dan konsekuensi adalah pembelajarannya.

Menutupi keraguan dengan keyakinan memang tidak mudah. Namun rasanya saya sudah berjalan sejauh dan saya siap untuk kehilangan sesuatu dan kembali menumbuhkan sesuatu yang lain, sesuatu yang telah saya pupuk sekian lama, sesuatu yang memberikan banyak pembelajaran untuk saya selama ini, termasuk apa yang saya tulis sekarang. Sesuatu yang tidak ternilai harganya.

Saya tidak ingin berhenti belajar. Bersama.

Saya meyakini bahwa kebahagiaan tidak sama dengan kepuasan. Kebahagiaan adalah keadaan umum dan tidak tergantung pada hal-hal materi sedangkan kepuasan adalah perasaan sesaat setelah memenuhi beberapa kebutuhan. Jadi saya akan tetap memberi pilihan masing-masing pada orang-orang disekitar saya, memberi kebahagiaan atau tidak adalah hal yang berbeda, tapi saya yakin itu akan memberi banyak pelajaran akan tanggung jawab dan konsekuensi, dan yang terpenting belajar menerima dan menjadi kuat dalam memilih karena pada dasarnya setiap hari kita akan mendapati banyak pilihan yang datang.

Dan sekarang tibalah saatnya untuk saya memilih. Apa yang akan terjadi maka terjadilah. Saya siap atas setiap konsekuensi dan mensyukurinya, dan quote dari Anthony Robbins akan selalu menguatkan saya;

“Focus on where you want to go, not on what you fear.”

Dan disinilah saya sekarang, bersiap untuk menjadi dewasa

Happy. Go. Lucky!!!

Seperti ayah saya selalu bilang bahwa kunci dari kebahagiaan adalah penerimaan. Jika saya tidak membuat pilihan, lalu siapa yang akan memilihkannya untuk saya? 

from both sides now


Bows and flows of angel hair
And ice cream castles in the air
And feather canyons everywhere
I've looked at clouds that way

But now they only block the sun
They rain and snow on everyone
So many things I would have done
But clouds got in my way

I've looked at clouds from both sides now
From up and down, and still somehow
It's cloud illusions I recall
I really don't know clouds at all

Moons and junes and ferris wheels
The dizzy dancing way you feel
As every fairy tale comes real
I've looked at love that way

But now it's just another show
You leave them laughing when you go
And if you care, don't let them know
Don't give yourself away

I've looked at love from both sides now
From give and take, and still somehow
It's love's illusions I recall
I really don't know love at all

Tears and fears and feeling proud
To say "I love you" right out loud
Dreams and schemes and circus crowds
I've looked at life that way

Oh but now old friends are acting strange
They shake their heads, they say I've changed
Well something's lost but something's gained
In living every day

I've looked at life from both sides now
From win and lose and still somehow
It's life's illusions I recall
I really don't know life at all

I've looked at life from both sides now
From up and down and still somehow
It's life's illusions I recall
I really don't know life at all

------------------------------------------------------------------


I will always remember the words of paulo coelho: Do not allow your wounds to transform you into someone you are not.

then everything will be fine.

Mau bilang apa


Hari ini saya mendapat limpahan tugas baru untuk memenej satu proyek kecil membuat gudang dengan material bekas. Material yang dipakai semuanya bahan sisa yang ada digudang. Proyek ini sebenarnya sudah seperempat jalan, bos saya mendelegasikan salah satu karyawannya untuk mengatur proyek namun karena tidak berjalan sesuai harapan akhirnya saya diminta untuk mengambil alih.

Saya coba mengobrol dengan beberapa tukang di proyek ini, mencoba mencari tau apa masalah sebenarnya di proyek ini. Terakhir saya tanyakan material penunjang apa saja yang kurang dan mendesak agar saya bisa beli dan memastikan proyek tetap berjalan. Setelah mencatat, lalu  bergegas mencari pinjaman motor. Biasanya saya tidak membeli sendiri tapi karena ini cukup mendesak akhirnya saya putuskan langsung beli sendiri saat itu.

Motor sudah didapat dan segera saya meluncur ke toko material di desa. Di depan pura perjalanan terhenti karena ada upacara. Ibu-ibu mengenakan kebaya panjang dengan sesajen diatas kepala, sedangkan bapak-bapak menggunakan setelan putih-putih adat bali lengkap dengan penutup kepala. Harum dupa menyeruak diantara rombongan. Disepanjang jalan beberapa turis sibuk memotret momen yang ada, mayoritas dari mereka menggunakan pakaian pantai yang serba terbuka. Bahkan salah satu dari mereka menggunakan bikini diatas sepeda. Pemandangan yang sangat kontras ini memang sudah biasa disini. Tanpa masing-masing merasa terganggu, semua melakukan aktivitasnya masing-masing.

Setelah rombongan lewat, motor melaju kencang menuju desa sampai ada binatang yang masuk ke mata saya, ya saya kelilipan! Gerakan cepat si motor atau si serangga atau akumulasi keduanya nampaknya membuat gesekan di mata cukup keras. Untung saya masih bisa menstabilkan motor yang berhenti mendadak. Sakit bukan main. Saya coba maju sebentar dan membeli air minum kemasan untuk mencuci muka dan mata saya. Setelah terasa lebih baik, perjalanan dimulai lagi menuju desa.

Yang saya pikirkan saat itu adalah bahwa kelilipan itu menarik bgt. Dari sekian banyak ruang di udara, saya atau tepatnya mata saya yang bergerak dengan kecepatan motor dan si serangga yang bergerak dengan kecepatannya sendiri, bisa bertemu di momen yang tepat, di bola mata saya! Coba kalau detik itu saya gerakan kepala saya sedikit, atau si serangga bergerak mereng sedikit mungkin kelilipan tidak akan terjadi dan ini menarik banget. Probabilitas yang ada tergantung pada banyaknya serangga yang ada disekitar mata pada suatu waktu tertentu dan jika saya menggunakan kacamata, kemungkinannya akan lebih kecil. Tapi tidak ada yang bisa menebak dan mengira kapan terjadinya kelilipan, itu seperti takdir. Sudah takdirnya si serangga berakhir di mata saya, dan sudah seharusnya mata saya merah membengkak sore itu. Tidak ada yang dapat mencegah kelilipan!

Sampai di toko ternyata tokonya baru aja tutup 5 menit yang lalu. Padahal itu satu-satunya toko yang menjual paku kapal. Ngenes. Kalau saja tidak ada upacara pada saat itu, atau kalau saja mata saya tidak kelilipan, mungkin saya kembali dengan material yang diperlukan dengan mata yang baik-baik saja. Apa mau dikata. Ya lagi –lagi, Takdir.

Kalau dipikir-pikir banyak takdir-takdir kecil yang kalau diakumulasikan menjadi sebuah rangkaian cerita yang bahkan kita sendiri tidak bisa menebaknya. Kita berusaha membuat rencana akan hidup kita, tidak selalu semuanya berjalan sesuai apa yang kita inginkan. Banyak kemungkinan-kemungkinan yang tidak diprediksi, dan disitulah menariknya. Sepertinya saya harus lebih berhati-hati pada tiap-tiap keputusan kecil yang saya ambil karena tanpa disadari hal itu dapat membawa perubahan yang signifikan dalam hidup saya.