Kesendirian membawa pada ruang-ruang sunyi. Ruang-ruang yang menghantarkan pada batas-batas paling nyeri, yaitu akal pikiran kita sendiri. Banyak dialog yang tercipta, antara harapan, juga ketakutan diri. Saling beradu dan beragumen, seolah diri berada ditengah, menjadi orang ketiga dan menanti akhir siapa yang akan menjadi pemenang.
Hey rasa takut, mengapa kamu seringkali datang. Rasa takut untuk gagal, rasa takut untuk ditertawakan, rasa takut untuk dianggap bodoh, rasa takut pada ketidakpastian, rasa takut untuk kehilangan, dan sederet rasa takut lainnya yang menekan diri untuk memilih diam dan cemas. Kamu tahu, kamu adalah sesosok yang paling menyebalkan yang memberi peluang untuk menghentikan perkataan sang harapan dengan argumen-argumenmu yang terkadang tidak masuk akal, tetapi kamu menang. Ya, sayalah yang memilihmu untuk menang.
Hey rasa takut, kamu hinggap juga enggak sih pada orang-orang sukses, pada orang-orang yang hebat dan diaanggap pemberani. Apa yang kamu rasakan ketika kamu kalah dan harapan mengusirmu pergi? Oh kamu tetap bercokol, hhmm dasar menyebalkan. Saya sedikit mengerti sekarang, kamu tidak akan pernah hilang, dan justru semakin membesar selama diri terus memberimu kesempatan untuk tumbuh. keberanian ternyata bukanlah tidak adanya kamu. Tidak ada keberanian tanpa adanya kamu. Kalian saling meng-ada.
Kalo dipikir-pikir kamu ga rese-rese amat. Terkadang saya akui sih ada saat-saat tertentu ketika kamu berisik di kepala malah memberikan saya kekuatan. Mungkin itulah yang terjadi pada orang yang tiba-tiba bisa memanjat dinding tinggi ketika dikejar anjing ngamuk. Jadi bagaimana kalau mulai sekarang kita bersahabat saja, kamu dan harapan bekerjasama untuk mendukung saya. Bukankah itu tawaran yang menarik? saya tahu kamu sebenarnya tidak bermaksud untuk manghancurkan. Kamu mangingatkan saya untuk berpikir sebelum bertindak, bukan untuk menghentikan tindakan. Saya sendiri yang menghentikan tindakan itu.
Sekarang saya jadi bertanya, sebenarnya kamu itu apa sih? Apakah kamu punya eksistensi? Atau sayalah yang memberimu arti?