Setelah puas membeli kain akhirnya saya bergegas pulang kerumah. Tidak akan sempat masak, saya putuskan untuk membeli makan malam.
Bertanya ke satpam di depan toko arah menuju Villa Bintaro Regency, lalu
mulai berjalan ke arah tersebut sambil mencari makanan yang menarik untuk santap
malam.
Tidak sengaja saya menemukan tulisan 'Sari
Bakso'. Tempat bakso yang menjual bakso iga ini banyak direkomendasikan oleh teman-teman di kantor. Akhirnya berjodoh juga, beberapa kali berniat kesini tapi selalu gagal.
Sebungkus bakso sudah ditangan, tinggal menunggu angkot
untuk pulang. Tidak lama akhirnya muncul juga si
angkot putih yang ditunggu-tunggu. Di dalamnya ada supir, seorang wanita di samping supir, dan seorang bapak di belakang, duduk dekat dengan pintu. Suasana di dalam angkot sedikit horror,
karena si bapak yang duduk persis di depan saya ini bergaya bak preman. Untuk mengurangi
rasa takut akhirnya saya tersenyum kearahnya. Menariknya, si bapak langsung
membalas senyum dengan ramah, bukan senyum genit apalagi seram. Dalam hati, oke
ini sinyal bagus, yang pasti saya harus tetap siaga :D
Setelah cukup lama saya sadar ada yang tidak beres, area yang dilewati semakin tidak familiar. Menyebalkan, ternyata satpam tadi menjawab dengan asal. Saya
pastikan ke supir angkot kemana arah menuju ciledug dan ternyata memang salah. Pak supir
lalu menawarkan diri untuk menyetop angkot pertama yang berpapasan, sehingga
saya tidak perlu turun dan menunggu di pinggir jalan. Ketika hendak membayar, dia pun menolak dan memaksa mengembalikan uang yang saya
simpan di dashboard. “Ambil saja mbak, kan salah naik angkot”, jawabnya dengan santai.
Kejadian ini tidak mungkin terjadi pada moda transportasi otomatis yang menggunakan pencatatan secara digital. Jasanya sudah saya gunakan, tapi dia menolak untuk dibayar karena menganggap ini sebagai musibah (salah naik), padahal sih karena kesalahan saya sendiri.
Kejadian ini tidak mungkin terjadi pada moda transportasi otomatis yang menggunakan pencatatan secara digital. Jasanya sudah saya gunakan, tapi dia menolak untuk dibayar karena menganggap ini sebagai musibah (salah naik), padahal sih karena kesalahan saya sendiri.
Berbeda dengan angkot pertama, angkot kedua kosong melompong, penumpangnya hanya saya sendiri. Sesampainya di depan rumah, saya lantas membayar tiga ribu rupiah. karena sudah lama tidak naik angkot, saya pikir uangnya cukup. Ternyata pak supir mengatakan bahwa uangnya kurang. "Seharusnya empat ribu mbak", katanya sambil nyengir lebar sehingga gigi-giginya yang sudah hampir habis semakin terlihat. Malu, akhirnya saya
mengeluarkan uang lima ribu rupiah. Si bapak lantas mengembalikan uang tiga ribu sebelumnya, lalu merogoh
saku kemejanya untuk mengambil kembalian. Cukup lama akhirnya dia memberi saya selembar dua ribu rupiah. Wah kalau begini sih sama saja. Saya mengatakan bahwa uang kembaliannya berlebih, dia lalu
menunjukan uang seribu rupiah yang sudah lecek di tangannya sambil mengatakan “ini uangnya
jelek mbak”, kembali dengan cengiran lebarnya lagi. Cuteness!!! Akhirnya saya bilang tidak perlu dikembalian.
Senyam senyum sendiri sambil berjalan kearah pintu rumah, menyadari masih banyak orang-orang baik dan tulus, yang tidak hanya mementingkan kepentingan dirinya sendiri, ditengah hiruk pikuk manusia-manusia urban yang semakin individualis. Simply beautiful.