Welcome to Bali.. tulisan yang ada di Bandara Ngurah Rai, Denpasar menyambut ketika saya baru saja tiba di Bali pada tanggal 18 Juni 2011. Setelah menunggu cukup lama akhirnya koper coklat saya keluar juga bersama dengan koper-koper yang lain. Rasanya menunggu koper keluar kali ini lebih lama dari biasanya. Sempat merasa khawatir karena dari awal, pelayanan salah satu maskapai penerbangan yang saya gunakan kurang memuaskan. Selain sempat delay hampir satu jam, ternyata nomor seat yang tertera di tiket saya telah diduduki orang, dan setelah dicek ternyata orang tersebut memiliki nomor seat yang sama di tiketnya. Lebih parahnya lagi, ternyata nomor double tersebut bukan hanya menimpa saya. Ada banyak penumpang lain yang protes hal yang sama hingga mbak-mbak pramugari yang cantik dan (seharusnya) ramah itu menjadi kelabakan dan tampak kesal.
Penumpang yang double seat dipersilakan untuk menempati kursi kosong. Saya melirik ke beberapa kursi kosong dan menemukan senyum ibu-ibu ramah yang duduk bersama anaknya, saya memilih kursi kosong disebelahnya. Beruntung ternyata kursi kosong yang ada masih dapat menampung penumpang double seat. Penasaran juga bagaimana keputusan yang akan diambil jika ternyata kursi tidak cukup. Tapi sepertinya rasa penasaran ini tidak sebanding jika ternyata saya harus batal ke bali diwaktu itu.. hahaha.. Akhirnya pesawat mulai take off.
Ibu-ibu ramah disebelah saya bernama Koming Eka. Koming karena beliau adalah anak ketiga. Sepanjang perjalanan saya yang awalnya berencana tidur, jadi samasekali tidak tidur karena saya terus menerus mengobrol dengan beliau. Bu Eka adalah warga Singaraja bali yang semenjak 15 tahun yang lalu merantau ke Lampung. Bu Eka menceritakan alasan mengapa beliau merantau, dari mulai bagaimana kehidupan keluarganya di Bali juga keinginannya untuk mengubah kondisi perkenomian keluarga. Bu Eka menceritakan pula bagaimana perbedaan budaya yang sangat terasa di keduanya, hingga rasa penyesalannya akan Lampung. Menurutnya lampung masih memiliki banyak potensi yang tidak dikembangkan dengan baik oleh pemerintah maupun masyarakatnya. Beliau membandingkan dengan masyarakat bali yang dapat mengubah sesuatu yang biasa dan banyak didapat menjadi memiliki daya tarik tidak biasa, misalnya bagaimana pohon kelapa dapat dimanfaatkan dr mulai daun sampai batoknya yang banyak diukir dan menjadi pajangan yang menarik.
Salah satu contoh yang diceritakannya adalah mengenai Taman Wisata Way Kambas. Kebetulan taman wisata ini berada di dekat rumahnya. Menurutnya taman wisata ini sangat cantik. selain gajah, di dalam taman ini banyak ekosistem bunga dan tanaman langka yang menarik dan dapat menjadi daya tarik, namun dibiarkan tanpa perawatan dan pengembangan yang cukup sehingga menjadi objek wisata yang sepi pengunjung dan mati suri. Jika dibandingkan dengan Bali memang sangat berbeda karena pemerintah dan masyarakatnya sudah sadar betul bahwa kotanya hidup dari pariwisata. Dia berujar sebetulnya potensi alam yang ada di lampungpun banyak yang menarik, namun sayangnya belum disadari oleh pemerintah juga masyarakatnya.
Penjelasan Bu Eka menjadi menarik karena sebelumnya beliau mengatakan ketika hidup di Bali, persaingan untuk bekerja dan membuka usaha sangat ketat, seiring dengan semakin padatnya penduduk Bali. Hal ini semakin memperjelas mengapa penduduk Bali begitu kreatif dalam mengembangkan usahanya.
Tak terasa mengobrol kesana kemari, sampai ke filosofi agama hindu yang beliau pegang, tiba-tiba terdengar pengumuman kalau sebentar lagi pesawat akan landing. Setelah pesawat berhenti, saya menyalami bu Eka sambil meminta nomor teleponnya jika suatu saat saya ada kesempatan ke Lampung, mungkin bisa mengunjungi beliau. Akhirnya saya berpisah ketika turun dari pesawat dan saya bergegas ke tempat pengambilan barang-barang di bagasi lalu melirik tulisan selamat datang dan tiba-tiba merasa diterima di kota yang kaya akan budaya ini.
0 komentar:
Posting Komentar