Rehat dari AutoCAD sejenak dan mencoba nulis apa yang dipikirin pas ngeCAD barusan *ga fokus hahaha, merasa sotoy untuk nulis ini tapi yowes ya daripada lupa mending tulis sini aja buat pengingat pas saatnya nanti :D
Terkadang saya suka mikir, teman-teman udah banyak yang
menikah dan bahkan punya anak. Mereka sangat teliti dalam mengatur dan membuat
perencanaan masa depan. Tempat tinggal, asuransi, biaya membesarkan &
menyekolahkan anak, kendaraan, dll, disaat saya sendiri masih belum punya
rencana jelas. Saya tentu memiliki keluarga impian sama seperti yang lain dengan
perlindungan terencana agar keluarga saya nantinya bisa survive. Hanya saja
saya masih belum tau dimana nantinya saya akan menetap. Merasa belum saatnya
menetapkan pilihan.
Mengenai membesarkan dan menyekolahkan anak, saya sepakat
bahwa materi sangat dibutuhkan untuk memfasilitasinya, dimanapun itu. Terbayang
biaya sekolah berkualitas yang mahal dan semakin mahal. Lihat saja mobil-mobil
yang bertengger di sekolah sekolah yang
katanya memiliki sistem pendidikan yang lebih bagus, keluar masuk dari sekolah
ke tempat les. Les ini les itu, harapannya untuk memfasilitasi hobi dan
kemampuan khusus. Ntahlah, Mungkin saya skeptis dengan sistem pendidikan di
negeri ini.
Menurut saya ada hal yang lebih penting dan berpengaruh
signifikan yaitu pendidikan di rumah. Pendidikan dari keluarga sebagai
lingkungan terdekat, pendidikan dari orang tua, dan itu bukan hanya soal dana. Saya
selama ini dibesarkan oleh keluarga dengan modal pas-pas an. Untuk itu saya mau
tidak mau harus masuk sekolah negeri karena biayanya jauh lebih murah (walaupun
SMP & SMU saya sekarang mahal juga – standar internasional katanya wkwk), Saya
cukup beruntung karena ternyata saya baru sadar setelah melihat tumpukan binder
SD setelah lulus kuliah, ternyata disana saya sudah menuliskan setelah dari SD
mau kemana, sampai dimana saya mau kuliah, walaupun agak ngaco karena saya
menulis ingin kuliah di ITB jurusan kedokteran :p, dan ternyata saya memenuhi ceklist2 tersebut. Saya bahkan tidak sadar menuliskan itu dulu. Alhamdulillah. Ternyata
keterbatasan dalam hal ini dana keluarga saya telah menjadi motivasi untuk saya
selama ini.
Ada kejadian waktu SMP, kita baru kedatangan teman baru
pindahan dari sekolah swasta di Jakarta. Saat itu dia sangat menunjukan kalau
dia dari keluarga berada. Satu momen kita berencana mengadakan study tour
keluar kota. Beberapa teman kami ada yang tidak bisa ikut karena tidak memiliki
dana sehingga kami berembug dan akhirnya memutuskan untuk patungan,
mengumpulkan sebisanya sehingga semua anak dikelas bisa ikut. Teman saya yang
dari Jakarta tercengang dan dia bilang kejadian ini ga mungkin terjadi di
sekolahnya dulu. Mana ada yang mau ngaku ga bisa bayar, dan pasti dia ga bisa
nerima beban pandangan teman-temannya kalau mereka tau dia tidak bisa bayar.
Cletukan teman saya ini sampai sekarang masih teringat di kepala. Ntah apa yang
saya pikirkan saat itu, yang pasti ada sesuatu yang tidak nyaman mengganggu
pikiran saya.
Heterogennya kondisi sosial ekonomi dikelas ternyata
berdampak akan kepekaan terhadap kondisi satu dan yang lain. Setelah saya
pikir-pikir sekarang, justru inilah pendidikan yang sebenar-benarnya. Itu hanya
contoh kecil dari pengalaman saya, mungkin sekolah kami tidak memiliki
fasilitas sebaik di sekolah swasta yang mahal, tapi karakter yang dibentuk
ternyata berbeda.
Tentu banyak nilai positif dari sekolah mahal yang
menawarkan kualitas, kualitas guru yang lebih baik, lebih disiplin (karena
tidak mengandalkan gaji bulanan dari pemerintah), bimbingan dan konseling yang juga
teratur sehingga si anak terawasi perkembangannya. Namun lingkungan yang
tersedia bagi mereka untuk bersosialisasi akan berasal dari golongan yang sama dan bukan tidak mungkin akan ada tuntutan untuk membuat bangga orang
tua yang sudah membayar mahal dengan berprestasi macam-macam. Les ini itu menurut
saya sah-sah saja, asal anak menikmati dan tidak merasa terbebani, belum lagi
bimbel untuk menghadapi ujian nasional dan tes perguruan tinggi yang seringkali
membekali siswa dengan hal-hal instan (beruntungnya lagi-lagi saya tidak
difasilitasi untuk ini). Fasilitas-fasilitas seperti ini mungkin akan memudahkannya untuk masuk ke perguruan tinggi yang
dia mau, tapi soal daya juang itu hal lain. Saya rasa daya juang dan sadar motivasi jauh lebih penting untuk survive hidup dalam
arti luas.
Jadi kembali ke soal pendidikan dari orang tua, saya menyadari
sekarang masih jauh dari kata siap, Tapi jika saya nantinya memiliki anak, saya
akan membebaskannya dalam menentukan jalannya sendiri, mengaktualisasikan
dirinya sendiri sehingga mereka memiliki keberanian untuk memilih, berani untuk
berbuat salah, berani bertanggung jawab. Karakter dan prinsip. Jika disatu titik mereka mengatakan
saya ingin berhenti sekolah, maka itu pilihan mereka. Tidak ada dogma selain bahwa
setiap keputusan ada konsekuensi dan tanggung jawab. Tanggung jawab ke diri sendiri, tanggung jawab
ke orang lain. Tidak ada paksaan. Begitupun dengan memilih agama, saya akan
bebaskan mereka untuk bertanya dan mencari jawabnya. Saya tidak mau mereka nantinya
menyalahkan lingkungan pun menyerah pada lingkungan dan lupa untuk bersyukur,
lupa bahwa pada dasarnya setiap orang itu beruntung. Saya ingin memberikan
kebahagiaan bagi anak-anak saya nantinya (http://berburucumicumi.blogspot.com/2010/04/bahagia.html). Saya sekarang hanya berpikir banyak sekali yang
harus disiapkan. Dana penting, tapi itu sama sekali ga membuat saya khawatir. Salut
dengan teman-teman yang sekarang sudah siap dan memiliki anak. Selamat berjuang
Ibu-Ibu. Keep rock n rollaaa!! :D
0 komentar:
Posting Komentar