Setelah mendengar debat capres semalam saya jadi teringat
perkataan ayah saya yang mengatakan “kamu katanya lebih memilih si x, tapi ko
protes terus sama yang diomongin si x”. Dia mengatakan itu setelah kami berdua
menonton debat capres 5 tahun lalu. Saat itu saya memang
lebih mendukung calon x daripada calon y, walaupun pada akhirnya di tempat
pemungutan suara saya memilih untuk golput dengan berdasarkan beberapa
pertimbangan.
Debat tadi malam tanpa disadari sepertinya saya melakukan
hal yang sama. Saya justru banyak mempertanyakan pernyataan calon yang saya
dukung. Mungkin seperti sebuah self defense mechanism yang secara alamiah saya
pegang dalam banyak konteks di kehidupan saya, saya tidak mau terjebak dalam
fanatisme. Agar tau dan akhirnya memahami dimana kurangnya calon yang saya
dukung, agar tahu apa saja yang harus diperhatikan untuk dapat mengawal
pemerintahannya jika dia terpilih kelak.
Calon yang saya dukung telah menunjukan keberhasilannya yang
bisa diukur dengan banyaknya penghargaan yang telah dia terima baik skala
nasional maupun internasional. Namun tentu terdapat pula catatan-catatan masa
lalu yang sepertinya kurang terekspos, tertutupi oleh bentukan media yang
menggiringnya menjadi sosok yang baik, sosok yang bisa memegang amanah, sosok
yang bisa dipercaya, sosok yang bisa bekerja. Contohnya soal mobil esemka yang
ternyata adalah produk cina yang dirakit namun dikomunikasikan oleh media
seolah itu adalah karya original kita, atau soal proyek railbus Solo-Wonogiri
yang sekarang terpaksa dihentikan karena dasar perencanaan dan pengelolaan yang
tidak dipikirkan dengan masak-masak, padahal telah menelan biaya yang tidak
sedikit, belum lagi baru-baru ini terbukti 'kecolongan' mengenai pengadaan transjakarta. adalah beberapa contoh yang menunjukan bahwa kebijakannya tidak hanya
bersifat populis namun juga sayangnya tidak dipertimbangkan dengan matang. Bagi
saya ini menjadi pengingat yang perlu diperhatikan bahwa beliau mungkin terlalu
menggampangkan sesuatu. Apa yang saya lihat pada beberapa debat capres semakin
menguatkan kekhawatiran saya ini.
Pemilu kali ini membukakan pikiran saya untuk lebih memiliki
kesadaran politik. Saat ini saya merasa dibukakan bahwa pemilu bukan hanya
tentang memenangkan dan mendukung sosok tertentu tapi lebih jauhnya menjadi
pembelajaran politik bersama. Negara seperti apa yang ingin dicapai, sehingga mengetahui
pemerintahan yang seperti apa yang kita perlukan. Sistem demokrasi yang kita
anut memungkinkan masing-masing penduduk untuk dapat mempertanyakan ini semua. Berdasarkan data BPS indeks demokrasi kita terus merosot hingga di angka 63,80 pada tahun
2013. Tiga aspek kualitas demokrasi yaitu; kebebasan sipil, hak-hak politik dan
institusi demokratis kita ternyata tidak menunjukan hasil yang baik. Jika saya berkaca
pada situasi kampanye saat ini, seram membayangkan bahwa masyarakat kita
ternyata begitu mudah terbawa oleh opini, begitu banyak kampanye yang tidak
sehat dari kedua kubu, memecah masyarakat menjadi dua kubu yang sangat rentan
untuk diadu domba.
Menurut saya yang masih awam soal politik dan sotoy ini, saya meyakini bahwa untuk membawa perbaikan di negara
ini adalah dengan cara memperkuat pemerintahan pada tingkat
lokal/ daerah. Dengan kondisi geografis dan banyaknya suku/etnis yang
berbeda-beda, setiap daerah harus didorong untuk mengembangkan jati dirinya,
sehingga menjadi potensi dan kekayaan bangsa kita, sehingga pemerataan yang kita idam-idamkan dapat terjadi. Pemerintahan
daerah harus dapat menjadi jembatan atas aspirasi masyarakatnya terhadap
pemerintahan pusat. Begitu senangnya saya mendengar mulai banyaknya
pejabat-pejabat daerah yang memiliki kualitas yang baik, termasuk bapak yang
saya dukung ini. Namun tidak bisa dipungkiri saya sedikit merasa sakit dengan
kiprah politiknya yang menurut saya terlalu cepat. Saya mengerti bahwa untuk
memperbaiki suatu daerah, harus didukung oleh pemerintah pusat. Tapi pernyataan
“kami tidak bisa melakukan karena tertahan pemerintah pusat” adalah bentuk
pelarian dari tanggung jawabnya. Salahkan saja atasan saya, adalah ungkapan
jujur dari suatu mental tertentu. Selain itu, karakter kutu loncat ini menurut saya dapat memberikan contoh dan motivasi yang kurang baik bagi pemerintah daerah lain.
Sejujurnya saya jauh lebih mengharapkan terbangun iklim
politik yang mendorong lahirnya jokowi-jokowi baru, lebih dari membuat jokowi
menjadi presiden. Bagaimana setiap daerah menghasilkan putra-putri terbaik
daerahnya untuk melakukan perbaikan secara KONSISTEN sesuai janjinya sebelum terpilih dan menyiapkan REGENERASInya
dengan baik. Bagaimana bisa kita menilai kepemimpinan seseorang jika seseorang
tersebut belum menyelesaikan tugasnya. Bagaimana bisa pemimpin menyiapkan
regenerasi yang baik jika waktunya saja
tidak ada, dipikirkan saja mungkin belum sempat. Jika beliau memang
berkualitas, beliau akan menjadi sosok yang nantinya dapat menjadi tauladan dan
inspirasi bagi pemimpin-pemimpin daerah lainnya, dan ini akan membawa perbaikan
yang signifikan bagi bangsa ini. Perbaikan ini mungkin tidak langsung
dapat dirasakan tapi efeknya akan menyeluruh. Miris ketika jokowi menokohkan
dirinya sebagai pemimpin dengan gaya bottom up tapi mau mengambil posisi diatas
atas ketika dirinya masih memegang tanggung jawab di level bawahnya. Apakah
nantinya beliau akan perlu blusukan lagi ketika menjadi presiden karena
pemerintah daerah masih belum optimal?
Tapi apa mau dikata, mungkin memang generasi saat ini adalah
generasi instan. Generasi 'idol'. Sehingga sosok Jokowi perlu dinaikan untuk
dapat mendulang suara. Ketika sosok yang didengungkan tanpa figuritas tersebut justru
dilahirkan menjadi sebuah bentuk figur baru. Begitulah sekarang jokowi telah
menjadi calon kuat yang telah menyingkirkan calon-calon lainnya untuk bertarung
dengan Prabowo. Dia menjadi magnet terutama bagi orang-orang yang
kecewa dengan pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Sosoknya menjadi simbol dan
menjadi harapan bagi perbaikan pemerintahan yang lebih demokratis. Saya senang melihat
bagaimana relawan dan masyarakat terdorong untuk aktif menyuarakan aspirasinya. Dengan berbagai kreatifitasnya, masyarakat berinisiatif untuk larut dalam pesta
demokrasi di era populis ini. Saya melihat ini adalah momentum yang baik untuk melawan pola pemerintahan yang selama ini ada. Semoga ini tidak hanya sebuah euphoria demokrasi sesaat.
Perlu diingat pula bagaimana calon dari pemerintahan sebelumnya yang naik dengan model pencitraan yang (maaf) terkadang terlalu lebay dan seringkali kita dibuat kecewa, karena bertentangan dengan pencitraan yang telah dibentuk sebelum beliau terpilih. Semoga kita sekarang telah belajar dan menjadi lebih siap untuk adanya kemungkinan ini, karena bagaimanapun jokowi adalah orang baru, orang yang belum lama memiliki kekuasaan. Kata orang kekuasaan itu mengerikan..
Sekarang saatnya saya untuk memilih. Saya memutuskan
untuk tidak golput. Saya percaya jokowi memiliki niat baik, jujur, dan yang paling penting adalah mengusung 'perubahan'. Saya berharap beliau dapat menyelesaikan masalah serta
membangun pondasi mengenai HAM dan membangun sistem tata kelola yang baik terutama untuk
melawan korupsi, penyakit dalam birokrasi kita. Saya
menyadari bahwa orang-orang disekelilingnya pun tidak bersih dari kedua
permasalahan tersebut. Terlepas dari semua kegelisahan tersebut, pada akhirnya saya harus realistis. Semoga harapan-harapan saya dan semua pemilih yang dititipkan di pundaknya jika terpilih kelak tidak akan dicederai. Saya percaya, harapan-harapan ini tidak akan tercapai tanpa dukungan penuh dari kita semua.
Semoga pemilu kali ini berlangsung adil, aman, tertib dan
semua pihak dapat menerima apapun hasilnya dengan lapang dada. Mari kita sama-sama awasi jalannya. Untuk Indonesia
kita, yuk jangan mau diadu domba. Indonesia maju kedepan :D