Belajar Mewarnai Keramik/Porselain
Diposting oleh
Anita Yuliana
on Jumat, 16 Agustus 2013
Label:
curhat colongan,
interest
/
Comments: (0)
Akhirnya satu set cangkir kopi ini selesai juga diwarnai menggunakan cat porselain warna ‘turquoise' dan 'lime green'. Dititip dulu ditempat teman kantor karena harus dioven untuk membuat warnanya keluar sempurna. Saya akan menggunakan oven roti, selama 25 menit dalam suhu 180 derajat. Harus hati-hati nih nanti membawanya ke Jakarta. Yuk mari ngopi dan bicara :)
Pentingnya Kemampuan Berenang
Diposting oleh
Anita Yuliana
on Minggu, 11 Agustus 2013
Label:
bali,
proses diri,
sharing
/
Comments: (0)
Boat yang saya tumpangi bergetar keras. Ombak bergelung
dibawahnya, mengangkat dan menurunkan boat dengan kencang. Penumpang lain pun
mulai panik, nampak seorang ibu yang sepertinya penduduk lokal tidak dapat
menahan tangis. Anak-anak mulai menjerit dan ditengah kekalutan tersebut, kapten
berteriak kearah awak kapal jika ada masalah dengan mesinnya. Maka mesinpun
dimatikan ditengah laut dengan ombak yang ganas ini. Inilah pertamakalinya saya
merasakan takut ketika berada di atas boat setelah dua tahun terbiasa
naik-turun speed boat.
Saya tidak dapat mengendalikan detak jantung yang semakin
meningkat frekuensinya. Saya mencoba duduk tenang dengan sambil tetap melihat
kearah laut. Malam ini bulan purnama, waktunya pasang dan ombak sedang menari
dengan kencangnya. Tiba-tiba seorang ibu disamping yang kalau saya tebak
berasal dari Australia bertanya apakah saya bisa berenang. Saya jawab iya. Lalu
dia mengatakan jika terjadi hal yang tidak diinginkan, saya harus berenang
sekuatnya menjauhi kapal, setelah cukup jauh sehingga tidak dapat dicapai oleh
orang-orang yang tidak dapat berenang, usahakan untuk mengapung tenang sampai
ada bala bantuan datang. Dia mengatakan semuanya dengan nada yang sangat
tenang. Dia bercerita beberapa tahun lalu, ada kapal feri rute bali-flores yang
tenggelam. Berdasarkan survey, 25% penumpangnya dapat berenang. Namun karena
panik dan antar penumpang saling berusaha memegang satu sama lain maka pada
akhirnya semua penumpang tidak dapat diselamatkan.
Bulu kuduk saya berdiri. Saya termenung, jika ada apa-apa yang
terjadi, saya harus menyelamatkan diri saya sendiri, begitupun orang lain. Ada
perasaan aneh yang bercampur antara merasa egois dan kesadaran hukum rimba
dalam alam. Mereka yang telah mempersiapkan diri memiliki kemungkinan survive
yang lebih tinggi. Tidak ada etika moral disini, yang ada adalah logika
survival. Saya hanya bisa menatap ibu tersebut dan mengangguk perlahan.
Dalam waktu satu jam 20 menit akhirnya boat kami mendarat pada
tempatnya. Jika keadaan normal, speed boat dengan jarak yang sama memerlukan waktu
hanya 25-30 menit. Syukurlah apa yang saya takutkan tidak terjadi, orang-orang
pun mulai tampak lega kembali.
--------------------------------------------------
Saya merasa jadi sangat beruntung setidaknya dapat berenang, walaupun
kematian siapa yang tahu. Saya terkenang jaman dulu ketika ayah saya sering
membawa saya dan adik ke karang setra. Tempat berenang buat kalangan menengah di Bandung. Setiap kali beliau mau mengajak kami, senang bukan
kepalang. Seperti sebuah hadiah paling istimewa dan mewah sekali untuk kami pada
saat itu. Menunggu ayah menyalakan motor berwarna hijau, saya dan adik
sudah tidak sabar untuk bermain-main di dalam air.
Dari kegiatan berenang nyemplung main-main ini, ayah saya yang
memang sudah jago berenang berbagai gaya menawarkan kami untuk ikut les
berenang. Dia nampak ‘kagok’ untuk mengajarkan langsung berenang, karena kami
sangat lambat dan tidak serius sehingga membuatnya kesal hahaha. Tawaran ini
hasil obrolannya dengan tukang bakso di depan karang setra yang tidak pernah
absen untuk dikunjungi setelah berenang. Jadi pak tukang bakso memiliki
keponakan yang merupakan atlet berenang kota bandung, dia mengatakan kalau
keponakannya akan senang untuk memberikan les dengan biaya yang sangat
terjangkau.
Akhirnya kami berdua mengikuti les berenang sampai bisa
menguasai gaya dada, gaya bebas, dan sedikit gaya dolphin, sebelum les akhirnya
terhenti karena mbak Rani dipindahkan ke Jakarta. Saat itu saya tidak berpikir
bahwa berenang merupakan kemampuan yang penting yang menjadi salah satu dasar survival
dalam hidup. Saya hanya senang bisa berenang secara benar dan bisa mengikuti
tes olahraga di sekolah dengan mudah. Kita tidak pernah tahu akan ada di
kondisi apa nantinya, namun nampaknya kemampuan berenang seharusnya dimiliki
setiap orang di dunia mengingat 75% dari bumi adalah perairan, khususnya orang
Indonesia yang merupakan salah satu Negara kepulauan.
Sistem Nilai
Diposting oleh
Anita Yuliana
Label:
curhat colongan,
kontemplasi,
proses diri
/
Comments: (0)
Aku sepakat dengan Ayu Utami mengenai sistem nilai. Aku tidak bisa hidup dengan sistem-sistem yang bentrok di dalam
diriku. Begitu memindai ketidakcocokan dalam sistemku, alarm akan menyala dan
sistemku akan mencoba memperbaikinya. Jika konflik tidak bisa diselaraskan,
maka sistemku akan menonaktifkan salah satu yang dianggapnya tidak kompatibel.
Aku membutuhkan apa yang kusebut “konsistensi sistemik” untuk bisa hidup ajeg.
Kalau tidak, aku akan merasa kacau dan skizofrenik. Demikian. Aku tidak bisa
tenang dengan berada di dua sistem dengan tata nilai yang berlawanan.
Aku lupa kapan persisnya, namun bersamanya aku mendapatkan konsistensi itu. Semua naik turun namun aku merasa selaras, berjalan beriringan tanpa paksaan dan tanpa tuntutan. Jikapun ada kami berusaha untuk bertoleransi pada titik-titik tertentu. Kita muda, kita penuh semangat, kita mencari, kita tumbuh bersama. Sampai suatu ketika ada titik dimana aku mulai mempertanyakan semuanya. Apakah aku ini, apa yang aku tahu, aku merasa tidak tahu apa-apa, dan apa yang aku inginkan. Aku termasuk orang yang melihat ketakutan adalah suatu yang harus diperjelas, suatu yang harus dihadapi. Dan disanalah aku mencoba mempertanyakannya kembali. Sekarang aku sudah mendapatkan jawabannya. Namun sepertinya semua sudah terlambat. Rasa keingintahuanku dan keinginanku untuk mempertanyakan ternyata berujung pada ketiadaaan. Sekarang aku tidak tenang, aku tidak nyaman.
Seperti zodiak yang ntah mengapa akhir-akhir ini aku percayai mengatakan bahwa seorang cancer tidak bisa jauh dari rumah. Dia akan kembali pada rumahnya, karena itulah yang membuatnya nyaman. Dia akan terikat pada sesuatu yang dianggapnya sebagai rumah. Itulah jawaban dari segala pertanyaan yang membuat aku resah selama ini. Aku harus pulang. Apapun yang aku dapat tidak ada artinya lagi tanpa dibagi dengan rumahku. Seorang Cancer bukanlah seorang petualang sejati. Dia anak rumahan.
Namun sekarang aku tidak tahu kemana aku harus pulang. Siapa yang dapat aku percaya. Bahkan aku kehilangan kepercayaan pada diriku sendiri. Aku tidak merasa perlu merubah sistem nilai yang telah aku bangun selama ini untuk mendapat ketenangan seperti kebanyakan orang yang ada pada posisi takut dan terluka, baik itu tata nilai yang ada di sosial, budaya, maupun agama. Tidak ada atheis di kandang macan. Lingkungan menuntutku, namun aku tidak tenang berada dalam sistem nilai yang saling berlawanan pada diriku. Aku mungkin menjauhi agama dalam proses pencarianku. Namun disisi lain aku sangat menghargai agama. Aku sangat menghargai aturan mainnya. Tidak mugkin aku dapat menerima sesuatu setengah-setengah ketika ada alarm dalam diriku menyala tidak kompatibel dengan berbagai aturan mainnya.
Setiap hari sebelum tidur aku membisikkan, aku sangat percaya jika tuhan itu ada, namun jika agama itu adalah suatu kebenaran, berikan aku jalan untuk memahaminya. Jalan yang indah, bukan sebagai pelarian atau dogmatis dari sekitar. Jadi sesungguhnya yang kulakukan adalah mengkomunikasikan diriku sendiri. Zaman dahulu kala, pemimpin gereja mengucilkan atau mengekskomunikasi orang-orang yang dianggap menjalani praktik hidup yang salah. Nah, yang kulakukan adalah itu terhadap diriku sendiri. Sebab aku tahu aku manjalani praktik yang salah menurut aturan main mereka. Jadi, sesungguhnya aku menghormati aturan main mereka. Aku tidak bisa menerima sesuatu setengah-setengah. Tidak bisa aku menerima bahwa jika aku muslim, aku shalat namun tidak menutup auratku. Atau jika aku menikah dalam islam namun aku tidak setuju dengan poligami. Mungkin orang lain bisa, tapi aku tidak. Ketidakkonsistenan membuatku tidak nyaman.
Dan disinilah aku saat ini, seorang teman sangat sedih setelah membaca blogku diam-diam soal agama dan mengontakku karena itu. Dia menganggap apa yang aku lakukan adalah kemunduran, kembali mempertanyakan sesuatu yang telah ditanyakan oleh orang-orang terdahulu. Dia mencoba menunjukan kepadaku mengapa dia percaya, dari halus sampai perdebatan sengit, namun tetap alarm ketidakkonsistenan pada diriku menyala. Namun aku percaya setiap orang punya jalannya masing-masing dan ini adalah perkara hati. Terlepas dari hubungan manusia yang juga diatur oleh agama, tapi ini adalah urusan kita dan tuhan. Tidak ada campur tangan manusia yang bisa membukakan jalan ini, terlebih dengan tendensi pengiringnya, jika kita mau berpikir.
Aku membaca sejarah-sejarah agama dan kerap membaca tafsir quran oleh-oleh dari paman sepulang dari haji yang aku bawa ke bali dalam perjelananku pertama kali. Aku mencoba memahami benang merah dari sistem nilai yang aku anut dengan sistem nilai yang ada di dalamnya. Aku percaya setiap orang punya jalannya masing-masing.
Karya Manual vs Digital
Diposting oleh
Anita Yuliana
Label:
arsitektur,
opini,
proses diri
/
Comments: (0)
Beberapa hari yang lalu saya dan dua orang teman mendiskusikan
mengenai perkembangan seni yang didukung oleh perkembangan teknologi. Poin
pembicaraannya adalah mengenai mulai tergesernya metode-metode manual yang
menggunakan tangan tanpa komputerisasi menjadi menggunakan bantuan teknologi
komputerisasi. Apakah ini sesuatu yang salah? Atau justru kemajuan? Atau
bernilai sama dengan, yaitu hanya saling menggantikan?
Untuk menjelaskan pendapat saya, saya mulai dengan pengalaman saya ketika masuk ke jurusan arsitektur. Bisa dibilang saat
itulah saya mulai belajar menggambar. Sebelumnya boro-boro saya bisa menggambar,
tertarik pun tidak. Masuk ke jurusan ini seperti salah alamat, yang saya
pikirkan sebelumnya teknik arsitektur itu adalah teknik sipil. Akhirnya mau tidak mau
saya harus melakoninya juga, apalagi di tingkat pertama hampir semua mata
kuliah berasal dari jurusan seni rupa yaitu mata kuliah gambar 1, gambar 2,
nirmana 2D dan nirmana 3D yang semuanya manual menggunakan tangan. Awalnya
tentu saya stres melihat teknik dan kemampuan teman-teman yang lain yang
sepertinya memang mayoritas sudah memiliki kemampuan dasar disitu. Tapi
ternyata hasilnya mengejutkan, gambar 1 saya mendapat nilai B, seiring saya
belajar dan mengamati teman-teman yang lain, akhirnya gambar 2 saya mendapat
nilai A, begitupun dengan nirmana 2D dan 3D saya mendapat nilai A di keduanya,
bahkan pada beberapa tugas nirmana saya mendapat nilai 100. Saya kaget dan bersyukur bukan
main karena saya tidak pernah merasa memiliki kemampuan di bidang-bidang
tersebut sebelumnya, ketika sekolah saya sangat menyukai pelajaran eksak dan
tidak tertarik dengan seni sama sekali.
Naik ke tingkat dua dan tiga, mulai masuk ke desain arsitektur
termasuk membuat maketnya. Baik gambar maupun maket dikerjakan harus dengan
manual. Saya mendapati diri saya sangat menikmatinya setiap prosesnya, bahkan
ketika pacar saya saat itu berniat membantu, ada ketidakrelaan tersendiri
karena meskipun hasilnya lebih baik atau lebih buruk akan memberi perbedaan
karakter dalam setiap tarikan garisnya :D
Berbeda ketika masuk ke tingkat 4 dimana semua gambar harus
menggunakan program komputer. Saya memang masih menikmatinya karena di tingkat
ini desain menjadi lebih kompleks dan semakin seru, namun ada sesuatu yang
hilang, dengan menggunakan komputer, saya tidak masalah jika teman saya mau
membantu. Gambar menjadi hanya media untuk menyampaikan gagasan-gagasan desain
arsitektur kita, tidak lebih. Saya tidak dapat menilainya sebagaimana saya menilai gambar manual.
Berdasarkan pengalaman tersebut, saya mendapati bahwa perbedaannya antara membuat gambar manual dan komputerisasi adalah dalam gambar manual saya dapat melampiaskan emosi, ketekunan,
detail, dan kepekaan saya. Contohnya ketika membuat garis atau arsir dengan pensil.
Disana saya merasa dituntut untuk menorehkan setiap garis dengan perasaan. Berbeda
dengan menggunakan program computer yang saya dengan mudah bisa menset
ketebalan, efek pensil dll dengan cepat. Pada intinya sama-sama menggunakan
tangan, namun yang satu menuntut kepekaan motorik dan emosi yang lebih. Contoh
lainnya bermain bowling atau golf secara langsung pasti akan berbeda dengan
bermain melalui computer. Sama-sama menggunakan tangan, sama-sama memiliki
target, sama-sama memerlukan kestabilan emosi ketika menarik tangan, namun ADA IKATAN EMOSIONAL YANG BERBEDA.
Selain karena tidak dapat digandakan, karena alasan itulah
sesuatu yang handmade akan dinilai lebih daripada hasil komputerisasi/digital. Saya
tidak suka menilai sebuah karya dengan angka, namun jika angka bisa menjadi bahasa sebagai tolak ukur yang dapat dimengerti semua orang, maka tidak heran handmade selalu
lebih mahal.
Kembali ke pernyataan awal mengenai baik/tidaknya pergeseran
dari manual ke komputerisasi, saya tetap mengatakan bahwa ini kemajuan. Memang
ada nilai-nilai yang hilang dari sebuah produk karya tersebut, namun sebuah
karya akan menjadi karya sesuai dengan kegunaan dan tujuan dibuatnya. Jika
pengrajin batik tidak menemukan teknik cetak, mungkin batik hanya dapat
dinikmati kalangan tertentu saja. Jika tidak ada program autocad, 3d max dan
program-program desain lainnya, mungkin perkembangan arsitektur dan desain lainnya tidak akan
secepat sekarang.
Jadi sah-sah saja mendesain menggunakan manual ataupun
komputerisasi karena ini kembali ke tujuan awal karya tersebut dibuat. Kalau
saya, karena saya menikmati membuat sesuatu dengan manual dimana ada ikatan
batin yang lebih ketika karya tersebut selesai, maka selagi ada waktu luang
saya akan gunakan untuk membuat sesuatu dengan tangan saya. Saya bercita-cita
jika nanti memiliki rumah sendiri, saya ingin setiap sudut rumah diisi dengan
sentuhan tangan-tangan anggota rumah, Saya, suami dan anak-anak saya. Baik secara manual, digital, maupun campuran keduanya. Do it
ourself, jika bisa buat sendiri kenapa harus beli? ;) dan pasti ada nilai lebih
yang menjadikan rumah bukan hanya sekedar rumah, tetapi media ekspresi dari
masing-masing karakter orang yang ada di dalamnya.
Love :)
Diposting oleh
Anita Yuliana
Label:
curhat colongan
/
Comments: (0)
"Love's for a lifetime not for a moment
So how could I throw it away
Yeah I'm only human
And nights grow colder
With no-one to love me that way
Yeah I need someone who really sees me..."