Boat yang saya tumpangi bergetar keras. Ombak bergelung
dibawahnya, mengangkat dan menurunkan boat dengan kencang. Penumpang lain pun
mulai panik, nampak seorang ibu yang sepertinya penduduk lokal tidak dapat
menahan tangis. Anak-anak mulai menjerit dan ditengah kekalutan tersebut, kapten
berteriak kearah awak kapal jika ada masalah dengan mesinnya. Maka mesinpun
dimatikan ditengah laut dengan ombak yang ganas ini. Inilah pertamakalinya saya
merasakan takut ketika berada di atas boat setelah dua tahun terbiasa
naik-turun speed boat.
Saya tidak dapat mengendalikan detak jantung yang semakin
meningkat frekuensinya. Saya mencoba duduk tenang dengan sambil tetap melihat
kearah laut. Malam ini bulan purnama, waktunya pasang dan ombak sedang menari
dengan kencangnya. Tiba-tiba seorang ibu disamping yang kalau saya tebak
berasal dari Australia bertanya apakah saya bisa berenang. Saya jawab iya. Lalu
dia mengatakan jika terjadi hal yang tidak diinginkan, saya harus berenang
sekuatnya menjauhi kapal, setelah cukup jauh sehingga tidak dapat dicapai oleh
orang-orang yang tidak dapat berenang, usahakan untuk mengapung tenang sampai
ada bala bantuan datang. Dia mengatakan semuanya dengan nada yang sangat
tenang. Dia bercerita beberapa tahun lalu, ada kapal feri rute bali-flores yang
tenggelam. Berdasarkan survey, 25% penumpangnya dapat berenang. Namun karena
panik dan antar penumpang saling berusaha memegang satu sama lain maka pada
akhirnya semua penumpang tidak dapat diselamatkan.
Bulu kuduk saya berdiri. Saya termenung, jika ada apa-apa yang
terjadi, saya harus menyelamatkan diri saya sendiri, begitupun orang lain. Ada
perasaan aneh yang bercampur antara merasa egois dan kesadaran hukum rimba
dalam alam. Mereka yang telah mempersiapkan diri memiliki kemungkinan survive
yang lebih tinggi. Tidak ada etika moral disini, yang ada adalah logika
survival. Saya hanya bisa menatap ibu tersebut dan mengangguk perlahan.
Dalam waktu satu jam 20 menit akhirnya boat kami mendarat pada
tempatnya. Jika keadaan normal, speed boat dengan jarak yang sama memerlukan waktu
hanya 25-30 menit. Syukurlah apa yang saya takutkan tidak terjadi, orang-orang
pun mulai tampak lega kembali.
--------------------------------------------------
Saya merasa jadi sangat beruntung setidaknya dapat berenang, walaupun
kematian siapa yang tahu. Saya terkenang jaman dulu ketika ayah saya sering
membawa saya dan adik ke karang setra. Tempat berenang buat kalangan menengah di Bandung. Setiap kali beliau mau mengajak kami, senang bukan
kepalang. Seperti sebuah hadiah paling istimewa dan mewah sekali untuk kami pada
saat itu. Menunggu ayah menyalakan motor berwarna hijau, saya dan adik
sudah tidak sabar untuk bermain-main di dalam air.
Dari kegiatan berenang nyemplung main-main ini, ayah saya yang
memang sudah jago berenang berbagai gaya menawarkan kami untuk ikut les
berenang. Dia nampak ‘kagok’ untuk mengajarkan langsung berenang, karena kami
sangat lambat dan tidak serius sehingga membuatnya kesal hahaha. Tawaran ini
hasil obrolannya dengan tukang bakso di depan karang setra yang tidak pernah
absen untuk dikunjungi setelah berenang. Jadi pak tukang bakso memiliki
keponakan yang merupakan atlet berenang kota bandung, dia mengatakan kalau
keponakannya akan senang untuk memberikan les dengan biaya yang sangat
terjangkau.
Akhirnya kami berdua mengikuti les berenang sampai bisa
menguasai gaya dada, gaya bebas, dan sedikit gaya dolphin, sebelum les akhirnya
terhenti karena mbak Rani dipindahkan ke Jakarta. Saat itu saya tidak berpikir
bahwa berenang merupakan kemampuan yang penting yang menjadi salah satu dasar survival
dalam hidup. Saya hanya senang bisa berenang secara benar dan bisa mengikuti
tes olahraga di sekolah dengan mudah. Kita tidak pernah tahu akan ada di
kondisi apa nantinya, namun nampaknya kemampuan berenang seharusnya dimiliki
setiap orang di dunia mengingat 75% dari bumi adalah perairan, khususnya orang
Indonesia yang merupakan salah satu Negara kepulauan.
0 komentar:
Posting Komentar