Aku sepakat dengan Ayu Utami mengenai sistem nilai. Aku tidak bisa hidup dengan sistem-sistem yang bentrok di dalam
diriku. Begitu memindai ketidakcocokan dalam sistemku, alarm akan menyala dan
sistemku akan mencoba memperbaikinya. Jika konflik tidak bisa diselaraskan,
maka sistemku akan menonaktifkan salah satu yang dianggapnya tidak kompatibel.
Aku membutuhkan apa yang kusebut “konsistensi sistemik” untuk bisa hidup ajeg.
Kalau tidak, aku akan merasa kacau dan skizofrenik. Demikian. Aku tidak bisa
tenang dengan berada di dua sistem dengan tata nilai yang berlawanan.
Aku lupa kapan persisnya, namun bersamanya aku mendapatkan konsistensi itu. Semua naik turun namun aku merasa selaras, berjalan beriringan tanpa paksaan dan tanpa tuntutan. Jikapun ada kami berusaha untuk bertoleransi pada titik-titik tertentu. Kita muda, kita penuh semangat, kita mencari, kita tumbuh bersama. Sampai suatu ketika ada titik dimana aku mulai mempertanyakan semuanya. Apakah aku ini, apa yang aku tahu, aku merasa tidak tahu apa-apa, dan apa yang aku inginkan. Aku termasuk orang yang melihat ketakutan adalah suatu yang harus diperjelas, suatu yang harus dihadapi. Dan disanalah aku mencoba mempertanyakannya kembali. Sekarang aku sudah mendapatkan jawabannya. Namun sepertinya semua sudah terlambat. Rasa keingintahuanku dan keinginanku untuk mempertanyakan ternyata berujung pada ketiadaaan. Sekarang aku tidak tenang, aku tidak nyaman.
Seperti zodiak yang ntah mengapa akhir-akhir ini aku percayai mengatakan bahwa seorang cancer tidak bisa jauh dari rumah. Dia akan kembali pada rumahnya, karena itulah yang membuatnya nyaman. Dia akan terikat pada sesuatu yang dianggapnya sebagai rumah. Itulah jawaban dari segala pertanyaan yang membuat aku resah selama ini. Aku harus pulang. Apapun yang aku dapat tidak ada artinya lagi tanpa dibagi dengan rumahku. Seorang Cancer bukanlah seorang petualang sejati. Dia anak rumahan.
Namun sekarang aku tidak tahu kemana aku harus pulang. Siapa yang dapat aku percaya. Bahkan aku kehilangan kepercayaan pada diriku sendiri. Aku tidak merasa perlu merubah sistem nilai yang telah aku bangun selama ini untuk mendapat ketenangan seperti kebanyakan orang yang ada pada posisi takut dan terluka, baik itu tata nilai yang ada di sosial, budaya, maupun agama. Tidak ada atheis di kandang macan. Lingkungan menuntutku, namun aku tidak tenang berada dalam sistem nilai yang saling berlawanan pada diriku. Aku mungkin menjauhi agama dalam proses pencarianku. Namun disisi lain aku sangat menghargai agama. Aku sangat menghargai aturan mainnya. Tidak mugkin aku dapat menerima sesuatu setengah-setengah ketika ada alarm dalam diriku menyala tidak kompatibel dengan berbagai aturan mainnya.
Setiap hari sebelum tidur aku membisikkan, aku sangat percaya jika tuhan itu ada, namun jika agama itu adalah suatu kebenaran, berikan aku jalan untuk memahaminya. Jalan yang indah, bukan sebagai pelarian atau dogmatis dari sekitar. Jadi sesungguhnya yang kulakukan adalah mengkomunikasikan diriku sendiri. Zaman dahulu kala, pemimpin gereja mengucilkan atau mengekskomunikasi orang-orang yang dianggap menjalani praktik hidup yang salah. Nah, yang kulakukan adalah itu terhadap diriku sendiri. Sebab aku tahu aku manjalani praktik yang salah menurut aturan main mereka. Jadi, sesungguhnya aku menghormati aturan main mereka. Aku tidak bisa menerima sesuatu setengah-setengah. Tidak bisa aku menerima bahwa jika aku muslim, aku shalat namun tidak menutup auratku. Atau jika aku menikah dalam islam namun aku tidak setuju dengan poligami. Mungkin orang lain bisa, tapi aku tidak. Ketidakkonsistenan membuatku tidak nyaman.
Dan disinilah aku saat ini, seorang teman sangat sedih setelah membaca blogku diam-diam soal agama dan mengontakku karena itu. Dia menganggap apa yang aku lakukan adalah kemunduran, kembali mempertanyakan sesuatu yang telah ditanyakan oleh orang-orang terdahulu. Dia mencoba menunjukan kepadaku mengapa dia percaya, dari halus sampai perdebatan sengit, namun tetap alarm ketidakkonsistenan pada diriku menyala. Namun aku percaya setiap orang punya jalannya masing-masing dan ini adalah perkara hati. Terlepas dari hubungan manusia yang juga diatur oleh agama, tapi ini adalah urusan kita dan tuhan. Tidak ada campur tangan manusia yang bisa membukakan jalan ini, terlebih dengan tendensi pengiringnya, jika kita mau berpikir.
Aku membaca sejarah-sejarah agama dan kerap membaca tafsir quran oleh-oleh dari paman sepulang dari haji yang aku bawa ke bali dalam perjelananku pertama kali. Aku mencoba memahami benang merah dari sistem nilai yang aku anut dengan sistem nilai yang ada di dalamnya. Aku percaya setiap orang punya jalannya masing-masing.
0 komentar:
Posting Komentar