Saya kerapkali mengunjungi sebuah rumah. Yah rumah. Mungkin memang tidak bisa dimasukan dalam kategori rumah dalam tipologi rumah yang dikenal di arsitektur yang lengkap dengan berbagai fungsi ruang didalamnya. Tapi itulah rumah bagi sekitar 30 individu. Tempat berkumpul, beristirahat, menjaga, belajar dan juga saling berbagi antar saudara. Tapi jangan mengharapkan disana terdapat sosok yang biasa kita sebut sebagai ayah, ibu, maupun anak. Disanalah tempat berkumpulnya individu2 yang berusaha untuk bertahan hidup. Sosok-sosok tangguh yang mencoba memaknai dunia dengan segala realita kehidupan yang dihadapinya.
Ngeri. Itulah yang saya rasakan ketika pertamakali menginjakan kaki disana. Terdapat 3 orang anak yang sedang meringkuk sambil mengisap lem aibon. Merinding. Dan mereka lalu menyambut kami (saya datang bersama 4 orang teman lainnya). Mereka tersenyum ketika kami datang dan langsung menghapiri untuk menyiumi tangan kami. Yah saya cukup kaget dibuatnya-bukan hanya karena saya tidak menyukai salam seperti itu, bentuk salam yang mungkin dianggap sopan-tetapi saya menganggap itu sebagai salahsatu bentuk feodalisme, tapi karena mereka menampakan wajah polos dengan keceriaan selayaknya bocah kecil. Wajah yang mengartikan ‘kami butuh perhatian’
Setelah beberapa waktu kesana untuk hanya sekedar mengobrol, mengajarkan matematika dan mendengarkan mereka berpidato-istilah yang kami gunakan ketika mereka berbicara satu persatu tentang pengalamannya. Mereka membicarakan kehidupan masa lalu yang terekam diingatannya masing-masing yang bagi saya teramat mengerikan, tetap dengan senyuman tulus mereka. OMG. Saya tidak dapat menahan sakit yang saya rasakan ketika mendengarnya. Masa lalu kelam telah menjadi pengiring kehidupan mereka yang bekerja sebagai pengamen, pemotong daging dan berbagai pekerjaan lain yang dapat ditemukan di pasar, halaman rumah mereka.
Hal yang paling menyedihkan dari mereka adalah mereka mengeLEM. Oke kita semua tahu itu berbahaya bagi perkembangan mereka, itu dapat merusak otak dan berbagai dampak negatif lainnya. Dari percakapan dan kegiatan matematika yang ternyata sangat diminati mereka, saya sadar mereka mengeLEM untuk menahan lapar dan merupakan teman yang selalu ada menemani mereka, saat-saat dimana dulu saya seumur mereka dirangkul, dipeluk, dan dicium oleh ibu dan ayah. Hampir semua yang saya tanya mengapa mereka mengeLEM menjawab dengan lantang, untuk menahan lapar ka. Ya, kenyang, kegiatan dan temanlah yang mereka butuhkan. Lem hanya alternatif yang paling memungkinkan bagi mereka untuk mendapatkan kebutuhan tersebut. So.... dapatkah kita memberi alternatif-alternatif lain yang lebih baik bagi mereka??
Berapa banyak anak-anak di bandung, atau Indonesia dan bahkan dunia yang senasib dengan mereka. Anak-anak yang terbuang, anak-anak yang tidak mengenal perayaan ulangtahun. Jangankan perayaan, tanggal lahirpun mereka tidak mengetahuinya. Anak-anak yang tumbuh dengan sendirinya layaknya binatang tanpa arahan dari kedua induknya untuk berkembang, yang mungkin nantinya sangat sulit dapat mendapatkan tempat dan posisi yang layak di masyarakat, sulitnya mendapat akses pendidikan untuk masa depan yang cerah. Lantas layakah kita menyebut mereka pantas miskin?
Bercampur perasaan dan emosi melihat realita yang ada. Lalu bagaimana memulai untuk mencoba sedikit berbagi, mencoba sedikit mengurangi ketidakidealan dari lingkup terkecil. Ada keinginan untuk mengajarkan kerajinan dan mencoba mengkoordinir agar mereka dapat menjualnya, tetap mengajarkan matematika dan menjadi teman yang sesekali mengunjungi dan membawakan makanan yang tidak seberapa, mencoba untuk tetap mengobarkan harapan akan masa depannya. Namun, cukupkah itu semua?
Saya benar-benar belajar dari mereka. Yang saya rasakan bukan lagi rasa ngeri, tapi malu. Malu dengan rengekan, malu betapa manjanya saya yang terbuai dengan kemudahan dan akses untuk mendapatkan kenyamanan. Mereka membukakan pikiran saya untuk bersyukur dan memanfaatkan apa yang saya dapat dengan sebaik-baiknya. Saya harus menyelesaikan kewajiban dan hak studi saya dengan baik agar nantinya dapat dengan lebih nyata memberi pengaruh terhadap kehidupan mereka. Terimakasih kepada anak-anak rumah belajar sahaja yang sudah membukakan mata saya. Saya akan berusaha menjadi teman yang baik, semoga Tuhan memberkati kalian semua.
2 komentar:
emang unik ya dunia, tiap entitas di dalemnya saling belajar satu sama lain, saling memiliki apa yang ga dimiliki oleh yang lainnya..
keinginan untuk saling belajar ini juga yang akhirnya akan numbuhin semangat persatuan dalam perbedaan. alih-alih memperbesar friksi akibat perbedaan, yang terjadi adalah saling nerima perbedaan itu dan saling memperkuat potensi masing-masing..
jelas ada prasyarat supaya ada fenomena saling belajar itu: dasar logika dan bahasa.
baguslah kalian ngajarin mereka dasar logika (keunggulan kalian, kelemahan mereka) dan biarkan mereka ngajarin kalian bahasa kehidupan (keunggulan mereka, kelemahan kalian).
sehingga interaksi yang terjadi adalah saling menguatkan potensi masing2.. mantap!
kunjungan kemarin -jumat dan senin (juli 2007)- turut membuka mata saya pula. Bahwa hidup kadang tidaklah adil...
tapi saya beruntung, karena dapat melihat apa yang tidak pernah saya lihat lebih dalam dan lebih berarti dalam hidup dibandingkan sebelumnya.
terima kasih rumah belajar sahaja
Posting Komentar